I
dont want you to go even if you’re tellin’ me
You’ve
gotten over me boy
Cause
lately I realized without you
I
can’t live another day
“Karena orang yang paling banyak
tersenyum adalah orang yang paling banyak terluka”
PART
6.
“Sudah kau temukan?”
Namja berlesung pipi itu membungkuk
sopan, kemudian ia menggeleng dan meminta maaf.
Membuat Yunho menggeram kesal dan
mendengus keras.
Sudah hampir satu minggu ia berada di
Seoul—tapi tidak sekalipun berita tentang Kim Jaejoong menyapa telinganya.
Ia sudah mencari namja cantik itu ke
sekolah, tapi pihak akademik menyatakan bahwa kekasih cantiknya itu sudah
keluar dari sana.
Bahkan sampai ke rumahnya pun sudah
Yunho datangi.
Tapi rumah besar itu berdiri tegak tanpa
penghuni di dalamnya.
Penjaga rumah itu mengatakan bahwa tidak
sekalipun tuan mudanya kembali setelah terakhir kali namja cantik itu meninggalkan
kediaman tersebut.
Namja tampan itu terlalu kalut—hingga ia
melupakan satu tempat penting yang seharusnya ia datangi sejak awal.
Oh—belum waktunya, tentu saja.
“Pakai usaha yang lebih keras lagi! Jangan membuat kepulanganku ke sini
menjadi sia-sia!” Marah Yunho menghentakkan kepalan tangannya di atas meja.
Sial!
Sihir apa yang telah digunakan pria tua
yang licik itu eoh?!
Kenapa begitu sulit menemukan namja yang
telah menjerat cintanya?
“Cari semua orang yang pernah bekerja dengan Jung Jinki dan bawa mereka
kepadaku!” Ujar Yunho dengan rahangnya yang mengeras.
Choi Siwon mengangguk patuh.
Ia segera membungkuk dan beranjak keluar
dari ruangan namja tampan itu.
Meninggalkan majikannya yang kini
bersandar pada sandaran kursi besarnya dan memijat pelipisnya.
Di
mana kau berada, Kim Jaejoong?
Kenapa
sulit sekali menemukanmu?
.
.
.
“Dingin...”
Namja cantik itu menggosokkan telapak
tangannya yang terasa membeku.
Mata bulatnya mengerjap pelan
memperhatikan ujung koridor yang sepi itu—kemudian atensinya kembali beralih
pada pintu platinum yang tertutup rapat di hadapannya.
Dua hari..
Tiga hari..
Lima hari..
Jaejoong mendesah.
Sudah genap dua minggu ia menunggu di
tempat ini setiap malam.
Tapi apa yang ditunggunya tidak pernah
muncul di depan matanya.
Air mata Jaejoong menggenang.
Apakah Yunho sudah melupakannya?
Apakah pria tampan itu sudah memiliki
pengganti dirinya?
Jaejoong menggigit bibir bawahnya
erat—berusaha menahan diri agar ia tidak menangis tersedu-sedu seperti
awal-awal masa sulitnya.
Ia bisa merasakan rongga dadanya yang
terasa kosong—kepingan hatinya telah menghilang seiring dengan berjalannya
waktu.
Hanya tersisa sedikit lagi harapannya
untuk Yunho.
Jaejoong sadar ia tidak bisa terus
seperti ini ke depannya.
Suatu saat ia harus berjalan dan tidak
pernah menoleh ke belakang lagi.
Tapi apakah ia sanggup?
Sementara seluruh hatinya telah ia jaga
hanya untuk Jung Yunho seorang.
“Tuan? Kau masih di sini?”
DEG.
Jaejoong
terkejut.
Ia
refleks menghapus jejak air matanya dan tersenyum kepada manajer apertemen
mewah ini.
“Ah, maafkan aku, aku akan pulang sekarang”
Ujar namja cantik itu lembut.
“Apakah kau masih menyimpan kuncinya? Kalau
tidak aku akan membukakan pintunya untukmu” Ujar pria ramah itu.
Eh?
Mata
besar Jaejoong mengerjap cepat.
Menatap
bingung wajah dengan senyuman hangat dari pria berpakaian formal tersebut.
“Kau tuan Kim Jaejoong, bukan? Aku tidak
mungkin lupa—beberapa tahun yang lalu kau pernah tinggal di sini bersama tuan
Jung Yunho. Kamar apertemen ini telah dibeli oleh tuan Jung atas namamu,
melihat kau telah kembali ke sini tapi terus duduk di luar, kupikir kau
kehilangan kunci kamar milikmu”
Jaejoong
tidak menyahut.
Mata
besarnya masih menatap takjub pada pria paruh baya itu.
Sama
sekali tidak menyangka kalau manajer ramah itu masih mengingat dirinya.
Oh—bagaimana
pria itu bisa lupa? Kalau namja cantik yang ada di hadapannya saat ini pernah
melakukan percobaan bunuh diri di hari terakhirnya tinggal di apertemen.
“Ini kuncinya, kalau kau memerlukan bantuan
kau bisa memanggilku kapanpun kau butuh, aku akan segera melayani dirimu. Aku
turut senang akhirnya kau kembali pulang, tuan Kim”
DEG.
Kim
Jaejoong tersentak kaget.
Seolah
ada yang memukul ulu hatinya.
Membuat
kedua matanya tanpa sadar terasa panas dan basah.
Nafasnya
tercekat—menatap bingung punggung manajer yang sudah berjalan meninggalkan
dirinya bersama sebuah kunci di dalam genggaman tangannya.
Pulang?
Air
mata Jaejoong menetes jatuh.
Ia
menoleh memandang pintu platinum tersebut dan memasukkan kunci yang baru saja
diterima olehnya dengan bergetar.
Isakannya
mulai terdengar—tapi Jaejoong tak lagi peduli.
Dadanya
semakin berdebar kencang ketika pintu tersebut terbuka dalam sekejap.
Apakah
ia sudah siap untuk ini?
Dua
tahun ia tidak pernah kembali ke tempat ini lagi.
Tapi
sekarang—
“..Aku pulang, Yunnie yah..” Lirih Jaejoong
nyaris tidak terdengar.
Bukankah
seharusnya ada yang menyambut kedatangannya ketika ia pulang?
“Aku pulang!” Seru Jaejoong dengan suaranya
yang pecah.
Kakinya
seakan tidak sanggup lagi menahan beban dirinya ketika kenyataan menghantamnya
dengan keras bahwa tidak ada lagi yang menyambut kepulangannya.
Namja
cantik itu bersandar lemah di balik pintu yang telah tertutup rapat.
Tangisnya
pecah tanpa bisa ditahannya lagi.
Ruangan
ini masih sama seperti dulu.
Tapi
hanya satu yang telah berubah—satu-satunya hal yang membuat air mata Jaejoong
tidak bisa berhenti untuk mengalir.
Apertemen
ini terasa dingin.
Tidak
ada lagi kehangatan yang tersisa.
Segalanya
telah hilang tak berbekas.
Jaejoong
menekan dadanya yang naik turun tidak teratur.
Sesak—sesak
sekali.
Ia
tidak tahan.
Namja
cantik itu merogoh saku mantelnya dengan tangan yang bergetar hebat dan segera
menghubungi Junsu setelah ia berhasil menemukan ponsel Changmin yang masih ada
padanya.
“Yeoboseyo?”
Nafas
Jaejoong menderu tidak teratur, dadanya terasa semakin sesak hingga mencekik
dirinya.
“J—Junsu..hh..Tolong aku..” Bisik Jaejoong
lemah.
“J—Jaejoong?
Ini kau? OMO! Katakan padaku di mana kau sekarang?!”
Ponsel
tersebut terlepas dari genggaman Jaejoong.
Namja
cantik itu meringis merasakan tangannya yang kaku.
Ia
terisak sedih—sakit sekali—ia tidak tahan.
-------
Mata
Junsu bengkak dan merah.
Changmin
sudah memberitahunya kalau Jaejoong baik-baik saja.
Tapi
tetap saja itu tidak berhasil membuat kekhawatiran Junsu mereda.
Ia
masih saja keras kepala untuk tetap berada di samping Jaejoong dan menjaganya
sampai mata bulat itu kembali terbuka.
“Sebaiknya kau tidur, Junsu, ini sudah tengah
malam” Tegur Changmin menghela nafasnya.
“Tidak mau! Kalau ia menghilang lagi,
bagaimana?” Sahut Junsu ketus.
Namja
berwajah kekanakan itu menepuk kepala Junsu dengan sedikit tekanan hingga namja
imut itu mengelak kesal.
“Kita bisa melacak ponselku lagi seperti
tadi, tenang saja” Ujar Changmin santai.
Junsu
mendengus keras.
Ia
berdiri dari kursi di samping ranjang rawat Jaejoong dan beralih berbaring di
sofa.
Hampir
tiga jam ia duduk di kursi itu—punggungnya jadi terasa pegal.
Sementara
Changmin sudah mengambil tempat di sofa yang satunya.
“Dari semua tempat—tidak sedikitpun apertemen
itu terlintas di benakku” Ujar Junsu menghela nafasnya.
“Ya, karena ia sendiri yang mengatakan bahwa
tempat itu terlarang untuknya dan ia tidak akan pernah kembali lagi ke sana”
Balas Changmin yang sudah berbaring dengan kedua lengan yang menumpu kepalanya.
“Jangan-jangan selama ini ia suka menghilang
tanpa kabar—sebenarnya ia pergi ke tempat itu? Tapi untuk apa?”
“Untuk apa kau bilang? Ini semua salahmu! Kau
yang memberitahunya kalau ayahnya Yunho sudah tidak ada lagi!”
“Apa hubungannya dengan ayah Yunho? Aku—”
“Jaejoong pasti mengira kalau Yunho akan
kembali ke sini setelah tidak ada lagi yang bisa menahan Yunho untuk bersama
dengannya”
“Mwo?!”
Namja
imut itu sontak beranjak duduk dari baringnya.
Menatap
tidak percaya kepada Changmin yang masih berbaring dengan posisi santainya.
“Jadi kau masih tidak tahu kalau selama ini
tuan besar Jung tidak menerima hubungan Yunho dan Jaejoong? Ckck” Dengus
Changmin meledek.
“Jeongmallyo?! Aku benar-benar tidak tahu!
Oh! Jadi ini alasan mengapa aku tidak boleh memberitahu Jaejoong tentang berita
itu?”
“Memangnya apa lagi?”
“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?!
Kalau aku tahu, aku tidak akan memberitahu Jaejoong dan ia tidak ada berakhir
seperti ini”
“Jadi ini salahku?”
“Tentu saja ini salahmu!”
“Yah! Kenapa ini jadi salahku eoh?”
“Kau yang—”
CKLEK.
Kedua
namja itu terdiam saat pintu kamar rawat Jaejoong terbuka dan beberapa dokter
berjas putih berjalan memasuki ruangan.
Changmin
dan Junsu segera berdiri dan membungkuk sopan.
“Ini rumah sakit, dilarang berisik” Tegur
seorang dokter berkacamata dengan tegas.
Kedua
pemuda itu kembali membungkuk disertai dengan permohonan maaf.
Kemudian
mereka berjalan menghampiri lima orang dokter tersebut.
“Apakah ia sudah sempat bangun?” Tanya dokter
berambut ikal memandang Changmin dan Junsu.
“Belum, ia masih tidur sejak mendapatkan
obat” Ujar Junsu lirih.
“Hmm, sepertinya tekanannya sungguh berat, ia
juga kelelahan”
“Iya, banyak sekali pekerjaannya”
Dokter
tersebut menaikkan alisnya.
Kemudian
ia menoleh kepada dokter-dokter yang lainnya dan sedikit berdiskusi dengan
istilah-istilah yang tidak diketahui oleh Changmin dan Junsu.
“Ini kelima kalinya pasien Kim Jaejoong
kembali ke rumah sakit sejak percobaan bunuh dirinya yang pertama” Ujar dokter
berambut ikal itu.
Changmin
dan Junsu mengangguk.
Menatap
gugup dokter berambut ikal itu.
Mereka
segera mengikuti arahan dokter tersebut untuk berbicara di luar kamar rawat
sementara dokter lainnya tetap berada di dalam kamar untuk memeriksa keadaan
Jaejoong lebih lanjut.
“J-Jaejoongie baik-baik saja, kan?” Tanya
Junsu tidak sabar.
“Kalian berpikir begitu?” Balas dokter
tersebut balik bertanya.
“Kami berharap seperti itu” Jawab Changmin
kaku.
Oh—dokter
berambut ikal itu tersenyum tipis.
Ia
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokternya dan menatap serius wajah
Junsu dan Changmin.
“Berdasarkan riwayat pasien sejak pertama
kali ia dirawat di rumah sakit ini dan setelah melihat kondisinya saat ini tim
dokter mendiagosa bahwa pasien Kim Jaejoong mengalami PTSD atau yang biasa
disebut dengan Post Traumatic Stress
Disorder. Ia mengalami tekanan dan trauma akan kesepian, biasanya dalam
kasus seperti ini pasien mengalami trauma karena telah memberikan segala yang
ia miliki pada orang yang salah” Jelas dokter tersebut.
Junsu
dan Changmin terdiam.
Menatap
tidak percaya dokter berambut ikal itu.
Junsu
tercekat—hingga mata sipitnya merembeskan cairan hangat yang membasahi pipinya
tanpa sadar.
“Je—Jeongmallyo?” Lirihnya serak.
“Bagaimana dengan proses penyembuhannya?
Apakah ia bisa sehat kembali?” Tanya Changmin menuntut.
“Pada dasarnya segalanya kembali kepada
keinginan pasien untuk bisa bebas dari segala tekanan traumatiknya, kemungkinan
untuk sembuh tentu saja ada, kita bisa melakukan terapi atau pemberian obat
untuknya” Ujar dokter itu pelan.
Oh—Junsu
dan Changmin refleks menghela nafas lega mendengar ucapan dokter berambut ikal
itu.
“Tapi tentu saja prosesnya tidak mudah,
mengingat percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh pasien cukup ekstrim dengan
jumlah yang tidak sedikit, aku ingin meminta bantuan kalian berdua untuk
kesembuhan pasien”
“Ya, tentu saja” Sahut Changmin yakin.
“Aku dan timku akan melakukan observasi
terhadap pasien, namun kami juga membutuhkan informasi dari pertanyaan yang
sama yang diajukan kepada pasien. Melihat kasus yang dialami oleh pasien, aku
menduga bahwa ada seseorang yang berpengaruh kuat hingga menyebabkan pasien
menjadi seperti ini”
“Y—Ya”
“Bisakah kalian membawa orang itu untuk
bertemu denganku? Aku membutuhkan beberapa hal penting darinya”
DEG.
Junsu
dan Changmin terkejut.
Mereka
saling menatap dan mengerutkan dahi.
Membawa
orang itu?
Membawa
Jung Yunho?
Yang
benar saja!
“Apakah Jaejoong bisa kembali pulang setelah
kondisi tubuhnya pulih?” Ujar Junsu cepat.
“Ya, secara keseluruhan ia baik-baik saja,
jangan lupa untuk terus mendukungnya agar ia termotivasi untuk sembuh”
Changmin
menoleh ke belakang saat pintu kamar rawat terbuka.
Keempat
dokter berjas putih itu sudah selesai melaksanakan tugas mereka.
Dokter
berambut ikal itu tersenyum kepada Junsu dan Changmin sebelum ia berbalik dan
berjalan bersama timnya seraya mendiskusikan sesuatu.
Junsu
menghela nafas.
Ia
melirik Changmin dan menyenggol lengannya.
“Changmin ah, sekarang bagaimana caranya kita
menghubungi Jung Yunho?” Tanya Junsu dengan suaranya yang parau.
Changmin
mendesah keras.
“Jangan bertanya padaku. Kalau ada orang yang
paling tidak aku inginkan untuk berurusan dengannya maka itu adalah Jung Yunho”
Ucapnya.
“Mwo? Lalu Jaejoong bagaimana?”
“Kurasa ini bagianmu, semangat Kim Junsu!”
“Yah! Changmin ah!”
Namja
berwajah kekanakan itu mendorong Junsu dan segera berlari memasuki kamar rawat Jaejoong.
-------
“Oppa, kemana saja kau? Uri Umma tidak bisa tidur semalam karena kau
menghilang tanpa kabar”
Namja imut itu melirik Tiffany yang
sedang berkacak pinggang di dekat tangga.
Junsu menghela nafas dan berjalan
melewati gadis berambut pendek itu begitu saja.
“Temanku masuk rumah sakit, jadi aku harus merawatnya. Tapi ia sudah
pulang ke rumahnya kok” Gumam Junsu hampir tidak terdengar.
“Temanmu? Siapa?” Tanya Tiffany seraya mengikuti langkah kaki kakak
angkatnya.
“Jaejoong, yah, aku lelah sekali, biarkan aku tidur sampai malam nanti.
Masalah Umma aku akan menemuinya nanti”
“Jaejoong? Kim Jaejoong? Omo! Namja yang berpacaran dengan Yunhoku itu
kan, Oppa?!”
“Yunhomu dari bulan! Sejak kapan pria itu jadi milikmu eoh? Kau sudah bertunangan!”
Gadis berambut pendek itu mendengus
kesal berusaha menjauhkan tangan Junsu yang menarik-narik rambutnya.
“Kan masih belum resmi menikah” Gerutu gadis cantik itu mengerucutkan
bibirnya.
Junsu hanya menghela nafas mendengar
ucapan adiknya.
Ia melepas kemejanya dan segera
melemparkan tubuhnya di atas ranjangnya yang empuk tanpa mempedulikan Tiffany
yang masih berdiri di pinggir ranjangnya.
“Ya Jun Oppa! Mandi lalu ganti baju! Masa mau tidur dengan kaus seharian
seperti itu sih?! Jorok!”
“Berisik! Tidak akan ada yang mati kalau aku
tidur seperti ini, kan? Keluar dari kamarku! Mengganggu saja!”
Gadis cantik itu merengut kesal.
Ia melepaskan sepatunya dan ikut
menjatuhkan dirinya di atas ranjang milik kakaknya.
Junsu hanya melirik sekilas kelakuan
adiknya lalu ia kembali memejamkan matanya.
Ia tidak terbiasa tidur di rumah sakit,
jadi punggungnya pegal sekali.
Belum lagi Changmin yang seolah-olah
melepas tanggung jawab kepadanya.
Uh.
Namja imut itu mengerutkan dahinya.
“Oppa, kau sudah tidur?”
Junsu mendengus—memilih tidak menyahut
pertanyaan konyol dari adiknya.
Aish, Tiffany itu sungguh cerewet.
Chansung yang kembarannya saja tidak
secerewet gadis berisik itu.
Rasanya kalau bisa Junsu ingin sekali
menutup mulut itu dengan bantal dan—
“Beberapa waktu yang lalu aku dan Chansung menemani Appa untuk menjemput
rekan bisnisnya di bandara. Kau tahu tidak siapa yang kami temui itu? Aigoo,
ini seperti mimpi. Berapa tahun ya sudah Jung Yunho yang tampan itu menghilang
dari Korea?”
DEG.
Mata sipit Junsu sontak terbuka lebar
ketika mendengar ucapan adiknya.
Namja imut itu beranjak dari baringnya
dan menarik Tiffany hingga gadis cantik itu mengerutkan dahinya bingung.
“Apa? Jung Yunho? Jeongmall?!” Seru Junsu tidak dapat menyembunyikan
rasa kagetnya.
Tiffany mengangguk polos.
Ia memiringkan kepalanya lucu.
“Appa bilang mereka menjalin kerja sama sekarang, sayang sekali aku
sudah bertunangan dengan Soo Hyuk Oppa, kalau tidak—YYA JUN OPPA!”
Aish.
Tiffany memukul bantal dengan kesal.
Lagi-lagi Junsu meninggalkannya yang
sedang berbicara.
Menyebalkan sekali!
Kenapa tidak ada satupun yang mau
mendengar dirinya eoh?!
Gadis cantik itu kembali merebahkan
tubuhnya di atas ranjang milik Junsu dan memutuskan untuk kembali melanjutkan
tidurnya.
Sementara Junsu sudah berlari-lari
menuruni tangga dan menuju koridor di mana ruang kerja Appanya berada.
Jantungnya berdebar kencang.
Ya Tuhan, Jung Yunho—pria itu telah
kembali!
Apakah Changmin tahu tentang hal ini?!
Apakah—apakah Jaejoong tahu?
Junsu merasakan tulang punggungnya
menggigil akan pemikirannya tersebut.
Ia harus bertindak!
Ia harus segera menghubungi pria itu!
Yunho harus membantu sahabatnya untuk
sembuh.
Junsu sudah tidak tahan lagi melihat
wajah yang penuh dengan kesedihan itu.
Masalah Changmin—ia akan memberitahunya
nanti.
.
.
.
Jaejoong menghela nafas panjang.
Ia mengayuh sepeda yang dipinjamnya dari
pemilik cafe tempatnya bekerja.
Namja cantik itu melompat turun dari
sepeda tua tersebut ketika ia sampai di depan sebuah rumah mungil yang kumuh
berwarna putih kusam.
Rumah yang bisa saja rubuh jika terkena
angin kencang dan hujan deras.
Tapi Jaejoong tidak peduli.
Ia sudah memutuskan untuk mengawali
hidupnya dari titik nol lagi sejak kepergian Yunho.
Ia tidak pernah lagi menggunakan kartu
rekeningnya yang berisi pemberian dari Yunho.
Jaejoong mencoba untuk menjauhkan
dirinya dari segala hal tentang namja itu agar ia bisa kembali hidup tenang.
Namja cantik itu meletakkan sepedanya di
teras rumah dan segera masuk ke dalam rumah dengan santai.
Tidak menyadari bahwa sejak awal ada
sebuah mobil mewah yang terparkir di dekat halaman rumahnya yang kecil itu.
Seseorang mengawasi dirinya.
Memandangnya dengan penuh kerinduan dan
penyesalan.
Namja itu—Jung Yunho.
Lelaki yang tidak bisa menahan rasa
sakitnya melihat bagaimana kurusnya Kim Jaejoong sekarang.
Rahangnya mengetat mengingat Jaejoongnya
yang berhenti bersekolah demi mencari uang.
Ia telah membiarkan Jaejoong bersedih
dan menderita selama ini.
Sedangkan dirinya hidup dengan penuh
kemewahan seperti biasanya—bahkan lebih ketika Jung Jinki sudah tidak ada lagi.
Yunho menggertakkan giginya ketika air
matanya jatuh.
Ia segera mengusap kasar wajahnya dan
beranjak keluar dari mobil mewah tersebut.
Melangkahkan kakinya menuju pintu depan
rumah kekasihnya.
Namja tampan itu merapikan jas armaninya
yang mahal dan mengatur nafasnya.
TOK
TOK TOK.
Yunho mengetuk pintu itu dengan tekanan.
Telinganya mendengar suara langkah kaki yang
mendekat dan semakin dekat.
Hingga beberapa saat kemudian pintu
tersebut terbuka dan Kim Jaejoong muncul di sana.
DEG.
Mata besar Jaejoong mengerjap.
Ia membeku di tempat.
Menatap namja tampan yang tersenyum
kepadanya di sana.
“Aku kembali, BooJae” Ujar Yunho dalam.
Bibir ranum Jaejoong membuka—namun tidak
satupun suaranya yang keluar.
Namja cantik itu mengerutkan dahinya.
Menatap Yunho lebih lama lagi untuk
memastikan bahwa kehadiran namja tampan itu nyata.
Dan detik berikutnya giliran Yunho untuk
terkejut.
Melihat Jaejoong yang tersenyum penuh
kepadanya.
Dada Yunho berdenyut tidak nyaman.
Nyeri seolah seseorang mencubitnya.
Senyum itu—bukan milik Kim Jaejoongnya.
“Yunnie..” Bisik Jaejoong lirih.
Suaranya bergetar.
Kemudian tangis Jaejoong pecah.
Yunho segera menangkap namja cantik itu
sebelum kekasihnya terjatuh lemas di atas lantai.
Membawa Jaejoong ke dalam pelukannya dan
membiarkan namja cantik itu menangis keras-keras di sana.
Yunho merasakan pipinya basah.
Relung hatinya terasa sesak.
Seolah ikut merasakan penderitaan
Jaejoong selama ini.
Namja tampan itu menyurukkan wajahnya di
kepala Jaejoong.
Menghirup aroma manis yang selalu ia
rindukan dengan kegilaan.
“Aku merindukanmu, Kim Jaejoong. Begitu merindukanmu sampai rasanya aku
bisa gila” Bisik Yunho di telinga namja cantik itu.
Jaejoong tidak menyahut.
Namja cantik itu masih menangis di
pelukan Yunho.
Yunho mendudukkan dirinya pelan-pelan
hingga punggungnya bersandar di balik pintu yang tertutup.
Dengan Jaejoong yang kini berada di
pangkuannya.
Bibir Yunho menarik sebuah senyuman
tanpa sadar.
Ia hampir tidak percaya bahwa kini
kekasihnya berada di dalam pelukannya secara nyata.
Setelah selama ini hanya bisa memimpikan
namja cantik itu.
Yunho menunduk dan menjauhkan wajah
Jaejoong dari dadanya.
Mengulurkan kedua tangannya untuk
mengusap wajah basah yang telah memerah itu.
Menatap Jaejoong dengan segala cinta
yang ia punya.
“Apakah—apakah kau akan tinggal?” Lirih Jaejoong serak.
Yunho mengangguk.
Dan detik berikutnya isakan Jaejoong
tenggelam di balik lumatan mulut Yunho.
Namja tampan itu merengkuhnya dengan
erat—seolah tidak ingin kehilangannya lagi.
Jaejoong melenguh disela isakannya.
Merasakan ciuman berantakan Yunho yang
penuh dengan kerinduan di mulutnya.
Namja cantik itu bergerak, mengeratkan
tubuhnya dengan tubuh Yunho hingga tidak tersisa sedikitpun celah di antara
mereka berdua.
Ia bisa merasakan dengan jelas tubuh
Yunho yang panas dan kaku.
Jaejoong memeluk leher Yunho dengan
tangan kirinya sementara tangan kanannya ia letakkan di atas bagian tubuh Yunho
yang panas membara.
“Pe-penuhi aku, Yunnie..Ugh..Mm..A-Aku membutuhkanmu..Hiks..A-Aku
rindu—AH!”
Namja cantik itu berjengit keras.
Tubuhnya seolah tersengat arus listrik.
Ciuman basah mereka telah lepas,
menyisakan benang-benang saliva yang mengikat.
Mata besar Jaejoong bertatapan dengan
mata musang Yunho yang dipenuhi gelora nafsu.
Jaejoong segera menangkup wajah Yunho
dengan kedua tangannya tanpa memutuskan tatapan mereka.
“U-Umh..ungh..” Desah Jaejoong tertahan ketika rasa sakit menggerogoti
punggungnya.
Air matanya kembali jatuh.
Membuat Yunho mengecup bibir basah
Jaejoong dan tersenyum kepadanya.
“Aku mencintaimu”
Namja cantik itu segera memeluk Yunho
dengan erat.
Tangisnya pecah sekali lagi di bahu namja
tampan itu.
Ia rindu Yunho.
Rindu sekali.
TBC :D
lagi asik2nya baca, ada tulisan tbc itu bikin arrrggghhhhh!!! yah akhirnya yunho balik nemuin jaejoong^^ ayo lanjut2 kak
BalasHapusaishhhh...sebel banget sama 3 huruf yang nangkring paling bawah itu -_-
BalasHapuspadahal lagi asik-asiknya
oh ya, lupa perkenalan dulu
anyeong shella... gue followers baru, salam kenal ya :)
gue baru baca ff ini doang, dan komennya gue jejalin dari chap1 di sini semua ya....hehe
gue masih belum paham sama PTSD yang diderita jaejoong, juga kehadiran yunho yang tiba2 di rumah jaejae...
ehm.. mungin kalo baca sekali lagi chap ini gue bakal lebih paham kali ya...
next ditunggu ya, shella^^
Untung tbc gak end 😁 , masak jae nerima yun gitu aja 😢 , bikin yun nyesel udah ninggalin jae dong, ditunggu next chap
BalasHapusOmo chingu, setelah sekian lama, yunjae moment ditunggu, eh malah tbc. Beneran yunho atau hanya halusinasi si jj sih? Jj jangan maafin yunho dengan mudah ya, sedikit jual mahal agar yunho tau rasa.
BalasHapusLanjut shella...
waaah gk tau kalo uda update. kkkkk
BalasHapusakhirnya yunho uda balik.