I
dont want you to go even if you’re tellin’ me
You’ve
gotten over me boy
Cause
lately I realized without you
I
can’t live another day
“Karena orang yang paling banyak tersenyum
adalah orang yang paling banyak terluka”
PART
2.
Kehidupan Jaejoong berubah 180 derajat
sejak Yunho mengklaim atas kepemilikan dirinya.
Ia yang tidak pernah tersorot, kini
menjadi bahan perbincangan anak-anak di sekolah.
Mereka bahkan mempertanyakan dari mana
datangnya Kim Jaejoong.
Tidak ada yang tahu—karena sejak awal
tidak ada yang pernah menyadari kehadiran namja cantik itu.
“Hai”
Jaejoong mendongak.
Menatap seorang namja imut yang
tersenyum kepadanya.
Mata besar Jaejoong bergerak,
memperhatikan nama yang tercetak di seragam namja imut itu.
Kim Junsu.
Oh—Jaejoong tahu dengan jelas siapa
namja berambut orange ini.
Putra pewaris perusahaan Hwang.
Junsu adalah anak yang diangkat oleh keluarga
Hwang sebelum sang nyonya besar melahirkan sepasang anak kembar bernama Hwang
Chansung dan Tiffany Hwang.
Seharusnya hak waris jatuh ke tangan
Chansung dan kembarannya.
Tapi mereka menolak dan memilih Junsu
untuk mengambil alih segalanya.
Dunia ini terlalu luas untuk mereka
jelajahi dari pada terperangkap di dalam gedung berisikan berkas-berkas yang
memusingkan bagi mereka berdua.
“Hm” Dengung Jaejoong tidak berminat.
Junsu tersenyum memperhatikan sikap
Jaejoong yang sama sekali tidak bersahabat.
Ia tentu saja mengerti.
Namja cantik ini tidak pernah berteman
dengan siapapun sejak awal mereka masuk sekolah.
Ia sendiri bahkan baru menyadari
kehadiran Jaejoong setelah kehebohan yang diciptakan Yunho di kantin sekolah.
Junsu sebenarnya tidak berminat mengenal
namja cantik ini.
Tapi adiknya yang
cerewet—Tiffany—memintanya untuk menginterogasi namja yang dipilih oleh Jung
Yunho itu.
Melihat sikap Jaejoong yang dingin
sepertinya tidak akan mudah—pikir Junsu dalam diam.
“Kau Kim Jaejoong, kan? Boleh aku usaha apa yang dimiliki oleh
keluargamu?” Tanya Junsu masih dengan senyum manisnya.
Jaejoong membalik halaman buku yang
sedang dibacanya.
Ia kembali mendongak menatap Junsu.
“Tidak ada, aku hidup sendiri sampai Yunho menemukanku”
Anak-anak kelas XII-3 itu berjengit
kaget mendengar jawaban Jaejoong.
Omo! Bukankah itu artinya ada seorang
penyusup di sekolah ini?
Jounant
International High School hanya diperuntukkan kepada para pewaris pemimpin
negeri!
Bagaimana bisa sekolah menerima Kim
Jaejoong yang sebatang kara, eh?
Bahkan membayar uang sekolah pun namja
cantik itu tidak akan bisa.
“Wow” Gumam Junsu tanpa sadar.
“Ada perlu apa denganku?” Tanya namja cantik itu masih menatap Junsu.
“Adikku menyukai kekasihmu, aku diminta untuk mencari tahu tentangnya
darimu”
Jaejoong menaikkan alisnya.
Tersenyum tipis mendengar ucapan Junsu.
Namja imut ini jujur sekali.
“Hanya itu?” Tanya Jaejoong menahan senyumnya.
“Sebenarnya aku juga penasaran denganmu, sampai Yunho bisa menjadikan
dirimu sebagai kekasihnya” Balas Junsu santai.
“Kau bisa bertanya langsung padanya kalau kau mau”
“Kau bercanda?”
Dan Jaejoong tidak bisa menahan
senyumannya lebih lama lagi.
Ia terkekeh sendiri di kursinya.
Membuat Junsu sadar bahwa Jaejoong telah
menerima undangannya untuk berteman.
Namja imut itu segera menarik kursi yang
ada agar berhadapan langsung dengan Jaejoong dan duduk di sana.
“Aku sempat berpikir kalau kau itu sombong dan menyebalkan” Ujar Junsu
menopang dagunya.
“Oh ya? Dari mana kau tahu?” Sahut Jaejoong menaikkan alisnya.
“Wajahmu yang memberitahuku”
“Tunggu sampai Yunho mendengar hal ini”
Jaejoong kembali tertawa melihat Junsu
yang kehilangan senyumnya.
“Kau takut sekali, ya, padanya? Memangnya ia pernah melakukan apa
kepadamu?”
“Tidak hanya aku, kau tahu. Semua anak di sekolah takut kepadanya. Yunho
tidak akan segan untuk mengambil segala yang kami miliki kalau ia terusik”
“Oh, ya, ibuku pernah mengatakan hal yang sama tentang hal itu”
Jaejoong mengalihkan pandangannya ketika
namja yang sedang mereka bicarakan muncul di pintu kelas.
Junsu refleks bangkit dari duduknya dan
menunduk dalam diam.
Mata besar Jaejoong memperhatikan
bagaimana Yunho berjalan menghampirinya dan melirik tidak suka pada Junsu.
“Sampai nanti, Junsu” Bisik Jaejoong saat Yunho sudah menariknya keluar
kelas.
Namja tampan itu menyeret Jaejoong
hingga namja cantik itu berjalan di sampingnya.
Yunho mendengus tidak senang.
Ia membawa Jaejoong memasuki
perpustakaan hingga ke rak paling ujung.
“Yunho?” Bisik Jaejoong lirih.
Namja tampan itu menyudutkan Jaejoong di
dinding.
Ia menatap tajam mata besar kekasihnya.
“Ada hubungan apa kau dengannya sampai ia bisa duduk begitu dekat
denganmu?” Desis Yunho kesal.
Jaejoong mengerutkan dahinya.
Mengulurkan tangannya mengusap lembut
rahang Yunho.
“Entahlah, mungkin ia ingin berteman denganku” Sahut Jaejoong tidak
yakin.
“Aku tidak suka melihatmu berdekatan dengan siapa pun, kau milikku”
Balas Yunho tidak sabar.
“Ya, aku tahu, tapi ini pertama kalinya ada yang menyapaku untuk
berbicara selain dirimu”
“Jangan terlalu dekat”
“Ya, maafkan aku”
Jaejoong memejamkan matanya mendapatkan
kecupan manis dari Yunho di bibirnya.
Ia mendesah lirih dan memeluk leher Yunho
dengan erat.
“Aku ingin bisa satu kelas denganmu, aku tidak ingin berpisah denganmu”
Ujar Jaejoong terdengar putus asa.
Yunho merapatkan tubuh mereka.
Kemudian ia mencium pelipis Jaejoong.
“Kita berbeda tingkatan, BooJae. Lagi pula jika kau satu kelas denganku,
kau tidak akan bisa belajar dengan benar”
“Kenapa?”
“Karena aku akan selalu mencumbumu seperti ini”
“Ah~!”
Jaejoong berjengit, mengetatkan
pelukannya di leher Yunho saat kekasihnya menempelkan pinggul mereka dan
menggesekkan bagian bawah tubuh mereka dengan intens.
“Umh..Ah..Ba-bagaimana kau akan melakukannya..Ji-jika ada guru yang
sedang mengajar?”
Yunho menyeringai mendengar jawaban dari
bibir menggoda itu.
Ia melepas dengan paksa pelukan Jaejoong
di lehernya.
Kemudian ia menarik turun celana
kekasihnya dan berlutut di hadapan kaki Jaejoong.
“Aku akan mengoralmu dari bawah meja, seperti ini”
“Ah!”
Namja cantik itu menutup mulutnya dengan
kedua tangannya.
Kakinya bergetar.
Ia menunduk dan memejamkan matanya
dengan erat.
Jung Yunho telah memberinya banyak cinta
yang berlumur dosa.
Hingga ia jatuh terlalu mudah.
Menjadikan Yunho sebagai satu-satunya
tempatnya bergantung.
Jaejoong tidak bisa membayangkan
bagaimana dirinya jika Yunho pergi dari sisinya.
“Yun—Yunho..Aku ingin selalu bersamamu..Ah..Aku..Aku milikmu..” Desah
Jaejoong menahan suaranya agar tidak melengking.
Yunho menghentikan kegiatannya.
Ia berdiri merapat kepada Jaejoong dan
tersenyum puas mendengar ucapan yang mengalun dari bibir ranum yang basah itu.
Namja tampan itu menyatukan bibir mereka
berdua.
Ia memiringkan wajahnya menyapa lidah
Jaejoong dengan lidahnya yang panas.
“Ya, Jaejoong, jangan berhenti menyebut namaku, karena hanya aku
pemilikmu” Desah namja tampan itu disela lumatan bibir mereka.
Jaejoong merasakan air matanya jatuh
ketika Yunho berada di dalam dirinya.
Ia mengulurkan tangannya memeluk Yunho
dengan erat.
Bertemu dengan Yunho membuatnya
melakukan banyak hal.
Bercinta di perpustakaan adalah salah
satunya.
Hal yang tidak pernah melintas di dalam
kepalanya.
Heechul akan membunuhnya kalau wanita
itu ada.
Jaejoong mendongak.
Tanpa sadar ia tersenyum tipis.
-------
Jung Jinki berdiam diri di dalam
mobilnya.
Tidak mengacuhkan supir pribadinya yang
mungkin saja sudah bosan menemaninya menunggu seseorang di dekat gerbang
sekolah putranya.
Namja paruh baya itu segera lepas landas
menuju Seoul ketika ia menyadari bahwa anak tunggalnya sudah tidak tinggal di
asrama sekolah lagi di London sana.
Ck, Jinki berdecak kesal mengingat hal
tersebut.
Lagi-lagi Little Jung itu membuat kekacauan.
Istrinya tidak bisa berhenti
menghubunginya setiap saat karena mengkhawatirkan si tunggal badung itu.
Membuat Jinki menyadari bahwa Yunho
tidak akan pergi kemanapun tanpa alasan yang kuat.
Namja paruh baya itu menegakkan
punggungnya ketika pintu gerbang sekolah terbuka dan beberapa mobil mulai
keluar masuk—untuk mereka yang disupiri—dari dalam sana.
Oh.
Mata bulan sabitnya bergerak
pelan—memperhatikan putra tunggalnya yang sedang membukakan pintu mobil untuk
seorang namja cantik yang tersenyum manis di sana.
Dahi Jinki mengerut.
Menatap tidak senang mobil mewah yang
sudah melaju kencang meninggalkan halaman sekolah itu.
TOK
TOK TOK.
Jinki menoleh dengan cepat.
Menatap bayangan seorang namja bertubuh
tinggi yang mengetuk jendela mobilnya.
Ia segera memerintahkan supirnya untuk
membukakan pintu tersebut.
Pemuda berwajah kekanakan dengan seragam
sekolah yang sama dengan milik Yunho itu segera tersenyum sopan dan duduk di
samping Jinki.
“Ini, tuan Jung” Ujar namja tersebut seraya menyerahkan amplop berwarna
cokelat kepada Jinki.
Namja bermata bulan sabit itu segera
mengambil amplop tersebut dan membuka isinya.
Matanya membesar sempurna memandang
gambar-gambar yang tercetak di dalam kumpulan foto tersebut.
Foto-foto Yunho dan Jaejoong yang sedang
berciuman.
Sial—ia jauh tertinggal dari kelicikan
anaknya ternyata.
“Hanya ini? Tidak ada lagi yang kau dapatkan, Shim Changmin?” Desis
Jinki bergetar penuh amarah.
Changmin tersenyum.
Ia menggeleng tanpa dosa.
“Aku ingin kau tidak berhenti untuk memantau Yunho, semuanya, dapatkan
semuanya untukku” Geram namja paruh baya itu kesal.
Changmin mengangguk patuh.
Ia menerima amplop lain dari saku jas
Jinki dan semakin melebarkan senyumnya.
Kemudian ia beranjak pergi meninggalkan
tuan besar Jung itu di dalam mobil.
Changmin memasukkan amplop berisi
lembaran cek yang ia dapatkan ke dalam saku seragamnya.
Kemudian ia tertawa kecil.
.
.
.
“Kau ingin makan apa hari ini?”
Namja cantik itu menoleh, memandang
sedikit wajah Yunho yang terlihat olehnya karena namja tampan itu sedang
memeluknya dari belakang.
Mata musang Yunho bergerak memperhatikan
tangan Jaejoong yang berhenti mencuci beras di westafel.
Namja tampan itu tersenyum tipis.
“Bagaimana kalau nasi kare? Kita punya bahannya?” Balas Yunho balik
bertanya.
Jaejoong mengangguk, ia kembali mencuci
beras yang ada.
“Yun”
“Ya?”
“Aku..Aku tidak pernah bisa berhenti untuk bertanya-tanya”
“Tentang apa?”
“Aku tahu kalau kau sudah berkali-kali mengatakannya kepadaku, tapi—”
“Kau masih tidak percaya kepadaku?”
Gerakan Jaejoong mencuci beras berhenti
dalam sekejap.
Namja tampan itu memutar tubuh Jaejoong
hingga mereka kini saling berhadapan.
“Aku mencintaimu, Kim Jaejoong. Sudah sejak lama aku tertarik kepadamu”
“Kenapa sekarang?”
“Kenapa sekarang? Ayahku memaksaku untuk bersekolah di London setelah
pesta itu berlangsung. Dan aku kembali karena aku mendengar kabar tentang
keluargamu”
“Kau tidak berbohong? Kau sungguh-sungguh kan, Yunho?”
Yunho mendesah.
Ia menangkup wajah Jaejoong dengan kedua
tangannya dan tersenyum tipis kepada namja cantik itu.
Memandang langsung kedua mata besarnya
yang tampak berkaca-kaca ketakutan.
“Dengar dan ingat, Kim Jaejoong. Kau dan aku—hanya maut yang dapat
memisahkan kita berdua” Ujar Yunho tegas.
Mata Jaejoong sedikit membesar mendengar
ucapan tersebut.
Ia menatap Yunho dengan air matanya yang
hampir tidak terbendung lagi.
“Aku percaya padamu Yunho” Bisik Jaejoong bergetar.
Yunho tersenyum—senyum yang utuh.
“Apa yang kau inginkan, sayang? Katakan kepadaku” Ujarnya lembut.
Jaejoong menelan salivanya.
Ia mencengkram kaus Yunho dengan
tangannya yang masih basah.
“Jangan pernah—jangan pernah membiarkan aku sendirian, jangan pernah
pergi dariku”
Tangan Yunho melepas wajah Jaejoong.
Ia meraih tangan Jaejoong yang ada di
kausnya dan menarik tangan basah itu menjauh—menggenggamnya di udara.
“Aku berjanji” Ikrar Yunho tegas.
Jaejoong tersenyum tipis mendengarnya.
Ia berjinjit dan segera memeluk leher
Yunho—tidak mengacuhkan Yunho yang berjengit kaget karena tangannya yang masih
basah.
“Aku berharap padamu, Yun” Bisik Jaejoong lirih.
Oh—bibir Yunho berkedut dengan cepat.
Ia memeluk pinggang Jaejoong yang
ramping dan meremasnya pelan.
“Katakan kepadaku, BooJae..Siapa pemilikmu?” Balas Yunho berbisik.
“K-Kau..Hanya kau—ahh!”
Namja cantik itu terlonjak kaget saat namja
tampan itu menarik tubuhnya hingga menghilangkan celah di antara mereka berdua.
Jaejoong mengerjapkan mata besarnya dan
mencengkram rambut Yunho dengan erat.
“Kau hanya boleh bergantung kepadaku, Jaejoongie” Desis Yunho di telinga
Jaejoong.
“Aku akan hancur tanpamu, Yunho..” Lirih Jaejoong berjengit.
Yunho menggeram puas.
Ia menyeringai senang dan mendudukkan
Jaejoong di pinggir westafel.
Mengabaikan beras yang masih dalam
keadaan basah di dalam westafel tersebut.
Persetan dengan makan siang, ia harus
bercinta dengan Jaejoong saat ini juga.
-------
Shim
Changmin hanya duduk diam memperhatikan dahi Jung Jinki yang mengerut tidak
senang.
Pria
paruh baya itu meminta Changmin untuk datang ke kantornya sore ini setelah ia
memikirkan kemungkinan Yunho untuk serius dengan namja berwajah cantik itu.
Jinki
ketakutan—bahwa Yunho bisa saja menentangnya hanya untuk mempertahankan namja
miskin tersebut.
Ia
harus melakukan sesuatu.
“Jadi mereka tinggal bersama?” Tanya Jinki
menaruh foto-foto yang ia dapatkan dari Shim Changmin.
Pelajar
berwajah kekanakan itu mengangguk.
Ia
menyilangkan kakinya sopan.
“Putra anda yang membawa Jaejoong ke
apertemennya, oh—mungkin anda belum tahu kalau namja bernama Kim Jaejoong itu
adalah putra tunggal dari Hangeng Kim”
DEG.
Jinki
terkejut.
Ia
membesarkan matanya tanpa sadar—namun hanya sebentar.
Karena
detik berikutnya pria paruh baya itu sudah kembali duduk tenang seperti semula.
Hangeng
Kim?
Ia
tidak mungkin tidak mengenal pengusaha yang sudah tidak ada itu.
Satu-satunya
pria tersukses yang pernah ada di ranah Asia.
Bibir
Jinki berkedut, menampilkan seringai culas seraya meremas kertas-kertas berisi
foto Yunho dan Jaejoong.
“Darah Hangeng Kim sekalipun sudah percuma.
Pria cina itu sudah mati, Changmin, tidak ada lagi yang tersisa selain
kemiskinan dan gosip di mana-mana”
Oh—Changmin
mengangguk membenarkan.
Kemudian
mata bambinya beralih memandangi tangan Jinki yang masih meremas foto-foto yang
sudah ia ambil dengan susah payah.
“Kalau begitu, mengapa anda tidak melakukan
sesuatu?”
“Sesuatu?”
“Ya, seperti bertemu langsung dengan Kim
Jaejoong dan memintanya untuk menjauh dari putramu”
Jinki
menaikkan alisnya.
Detik
berikutnya ia sudah menyeringai.
Ah—ide
yang sungguh brilliant.
Kenapa
tidak terpikirkan olehnya sedikitpun eoh?
“Hubungi Kim Jaejoong untukku, Changmin”
Namja
berwajah kekanakan itu mengangguk.
Ia
segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan menyentuh layar sentuh
ponselnya beberapa kali sebelum menyerahkan benda tersebut kepada Jung Jinki.
.
.
.
“Ngh”
Jaejoong berjengit dari tidur pulasnya
merasakan ponselnya yang berdering.
Ia membuka matanya dan segera meraih
benda berlayar sentuh itu.
Mengerutkan dahinya membaca sederet
nomor yang tidak dikenal menghubunginya.
“Yeoboseyo?” Serak Jaejoong beranjak duduk dari baringnya.
Ia meringis kesakitan, melirik Yunho
yang tertidur di sampingnya.
Entah sejak kapan mereka berdua
ketiduran.
Percintaan kali ini benar-benar menguras
tenaga keduanya.
Jaejoong tersenyum tipis seraya mengusap
rahang Yunho.
“Kim Jaejoong? Ini aku, Jung
Jinki, ayahnya Yunho”
DEG.
Jaejoong tersentak kaget.
Mata besarnya membulat sempurna.
Punggungnya refleks menegap melupakan
bagian bawahnya yang berdenyut-denyut sakit.
“Ada yang ingin kubicarakan
denganmu, aku menunggu di cafe seberang apertemen putraku”
Sambungan telepon terputus.
Menyisakan Jaejoong yang merasakan
jantungnya berdebar kencang.
Perutnya terasa sakit—seolah isi
dalamnya melilit dengan erat.
Namja cantik itu menoleh, memandang
Yunho yang masih terlelap dengan pulas.
Menimbang-nimbang apakah ia harus
menuruti ucapan pria yang tidak pernah ditemuinya itu atau tidak.
Nafas Jaejoong berhembus kencang,
setelah terdiam beberapa lama ia kemudian menunduk, mengecup dahi Yunho dan
segera beranjak dari ranjang.
Memakai pakaiannya dengan cepat setelah
ia mencuci wajah cantiknya dan pergi dari sana setelah meninggalkan catatan
tempel di lampu meja nakas untuk kekasihnya.
Jemari Jaejoong bergetar dan jantungnya
tidak bisa berdetak dengan normal.
Ini kali pertama Jung Jinki
menghubunginya.
Dan ia tidak tenang.
Namja cantik itu berjalan cepat
menelusuri lobi apertemen setelah ia keluar dari lift.
Bahkan ia tidak sempat untuk menyapa
sang penjaga pintu apertemen karena kegugupannya.
Mata besar Jaejoong mengerjap melihat
tangga penyebrangan jalan sedang sepi.
Oh—apakah bisa dikatakan ini awal dari
keberuntungannya?
Jaejoong menjilat bibirnya yang terasa
kering mencoba untuk berharap.
Namja cantik itu berjalan cepat menuju
pintu cafe yang berwarna hitam tersebut dan segera mendorong pintu itu.
KLING
KLING.
“Selamat datang, berapa kursi yang ingin anda pesan?” Sapa sang pelayan
yang berjaga di dekat pintu masuk cafe.
“Uh, aku memiliki janji dengan seseorang—Jung Jinki” Sahut Jaejoong
tersenyum gugup.
Wanita berseragam itu mengangguk sopan.
Ia segera menuntun Jaejoong menuju kursi
yang terdapat di dekat jendela yang menghadap ke arah jalan kemudian
meninggalkan Jaejoong di sana setelah ia memberitahu pria mana yang bernama
Jung Jinki.
Jaejoong segera mengangguk dan berterima
kasih kepada gadis berseragam tersebut dan melangkah menghampiri kursi yang
ditujunya.
“Selamat sore” Sapa Jaejoong membungkuk sopan.
Jinki tidak menyahut.
Pria itu hanya menatap tajam wajah
cantik Jaejoong.
Membuat namja cantik itu menunduk gugup
dan segera duduk di seberang pria paruh baya tersebut.
“Sudah berapa lama kau berhubungan dengan Yunho?” Tanya Jinki tanpa
basa-basi.
DEG.
Jaejoong tersentak.
Ia mendongak menatap Jinki.
Menjilat bibirnya sebelum membuka mulut
untuk menjawab.
“Be-belum lama ini”
Ah—Jinki tersenyum miring.
“Oh, masih seumur jagung ternyata”
“N-ne?”
“Aku tidak akan berlama-lama, Kim Jaejoong. Aku ingin kau menjauhi
putraku”
DEG.
Jaejoong tercekat.
Mata bulatnya sontak mengunci tatapan
Jinki yang dingin.
Ia meremas lututnya dengan erat di bawah
meja.
Sementara Jinki menatapnya dengan
tajam—penuh kebencian.
“A-Aku—”
“Untuk kau tahu, Kim, ini bukan penawaran. Ini adalah perintah. Yunho
akan pergi darimu cepat atau lambat, kau hanya perlu mempersiapkan diri kalau
seandainya ia yang lebih dulu meninggalkanmu”
“Tapi..”
“Aku tidak akan segan untuk melukai siapa pun bahkan termasuk putraku
sendiri jika demi kelangsungan perusahaan Jung. Suatu saat nanti Yunho akan
mewarisi segala yang telah kubangun, dan ia membutuhkan penerus untuk ini”
“Tapi kami saling mencintai, kami berjanji untuk—”
“Cinta? Kalau memang kau mencintainya seharusnya kau melepasnya.
Sekarang biarkan aku bertanya, apakah kau bisa memberikan putraku keturunan?
Bisakah kau mengandung anaknya?”
Jaejoong terdiam.
Ia menundukkan wajahnya—menyembunyikan
matanya yang sudah berkaca-kaca.
Jung Jinki berdecih—memamerkan senyum
remehnya.
Ia mengetuk-ketukkan telunjuk kanannya
di atas meja.
“Yunho memang sudah siap untuk menjalin hubungan yang serius. Tapi tidak
denganmu, Kim Jaejoong. Seharusnya kau isi perutmu dulu sebelum melebarkan
kakimu untuk orang lain. dan sekali lagi kutekankan, bukan untuk putraku. Kau
dengar aku?” Ujar Jinki dingin.
Jaejoong bergetar.
Hidungnya mengerut berusaha menahan air
matanya yang tidak berhenti berjatuhan membasahi pipinya.
Ia menggigit bibir bawahnya erat menahan
isakan.
Tenggorokannya tercekat.
Hatinya sakit sekali—seolah-olah pria
paruh baya itu dengan benar mengiris jantungnya.
Seandainya..Seandainya ia adalah Kim
Jaejoong yang dulu—seandainya seperti itu, tidak ada satupun ucapan Jinki yang
perlu ia takutkan.
Tidak ada.
Karena ayah dan ibunya tidak akan pernah
membiarkan dirinya terhina dan bersedih.
Tapi ia sebatang kara, kini.
Namja paruh baya itu menyesap kopinya
untuk yang terakhir kali dan segera beranjak dari hadapan Jaejoong.
Meninggalkan namja cantik yang masih
belum mengangkat wajah basahnya.
Gigi Jaejoong bergemertak.
Ia mencengkram lututnya erat.
Tidak ada lagi hal lain yang paling ia
inginkan di dunia ini kecuali Yunho setelah semua orang pergi darinya.
Ia dan Yunho sudah berjanji untuk saling
memiliki sampai mati.
Dan sekarang Jung Jinki muncul untuk
membakar janjinya dan Yunho.
Jaejoong tidak ingin berpisah dari
Yunho.
Tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar