I
dont want you to go even if you’re tellin’ me
You’ve
gotten over me boy
Cause
lately I realized without you
I
can’t live another day
“Karena orang yang paling banyak
tersenyum adalah orang yang paling banyak terluka”
PART
4.
Seoul, setahun kemudian.
“Selamat datang”
“Selamat pagi, Jae”
Namja imut itu tersenyum ramah kepada
Jaejoong.
Junsu segera duduk di kursinya yang
biasa dan menerima secangkir teh hangat di hadapannya.
Ini sudah menjadi kebiasaan baru Junsu
untuk mampir menemui Jaejoong—teman pertamanya—sebelum sekolah dimulai.
Mata sipit Junsu memperhatikan bagaimana
cantiknya sosok namja yang sedang menyusun potongan kue kering di piring
miliknya.
KLING
KLING.
Junsu dan Jaejoong menoleh ke arah pintu
masuk cafe ketika suara bel terdengar.
Ah, itu Shim Changmin.
Namja kekanakan itu melambai kepada
mereka berdua dan segera duduk di hadapan Junsu.
“Pagi Jae, sarapanku yang biasa, ya” Ujar Changmin tersenyum lebar.
Jaejoong mengangguk.
Ia segera berbalik dan berjalan menuju
dapur.
Junsu menghela nafas pendek.
Ia menyeruput teh hangatnya dan melirik
Changmin yang masih memandang ke arah dapur.
“Masih memikirkan hal yang sama?” Tegur Junsu tersenyum tipis.
Changmin tertegun.
Ia menatap Junsu dan mengangguk singkat.
“Ya, selalu menjadi mimpi terburukku kalau sudah berhubungan dengannya”
Gumam Changmin pelan.
Changmin masih ingat dengan jelas.
Hari di mana ia melihat Jaejoong yang
bersimbah darah.
Hari di mana ia menyesal telah menjadi
salah satu penyebab perginya Yunho dari namja cantik itu.
Karena setelahnya—tidak asing lagi
untuknya melihat Jaejoong yang mencoba untuk membunuh dirinya di setiap
kesempatan yang ada.
Kemudian Junsu datang dan menolongnya
untuk menghadapi Jaejoong.
Ia sudah lama mengenal Junsu, sikap
jujur namja imut itu yang membuatnya tidak pernah ingin berteman dengan Junsu
sama seperti anak-anak lain.
Tapi melihat bagaimana Junsu menghadapi
Jaejoong telah membuat Changmin mengubah pikirannya.
Terkadang kejujuran diperlukan untuk
meringankan sebuah masalah.
“Ini sandwich ekstra dagingmu,
tuan muda” Ujar Jaejoong meletakkan sepiring penuh roti isi di hadapan
Changmin.
Namja berwajah kekanakan itu bersorak
senang.
Jaejoong mengambil kursi dan duduk di
antara mereka berdua.
“Jae, apa kau sudah memikirkan tawaranku untuk kembali bersekolah?”
Tanya Junsu menatap Jaejoong.
Namja cantik itu mengerjap, kemudian ia
menggeleng.
“Aku sudah melepaskan segalanya, Junsu. Kau tahu gajiku hanya cukup
untuk makan dan keperluan sehari-hari, mungkin suatu saat nanti”
“Masalah pekerjaan, bukankah Changmin bilang ia akan mengatur semuanya?
Kau hanya perlu mengatakan ya dan kami akan membantumu, Jae”
“Tidak, Junsu. Aku tidak akan menerima bantuan apapun dari kalian. Aku
bisa berdiri sendiri”
Karena
tidak ada lagi yang bisa kupercayai di dunia ini selain diriku sendiri.
“Baiklah, kalau itu maumu, tapi yang jelas kami akan selalu ada kalau
kau berubah pikiran”
Jaejoong mengangguk.
Junsu sudah beralih kepada Changmin.
“Ayo Min, sebentar lagi sekolah dimulai”
Changmin mengangguk.
Ia menelan potongan rotinya yang
terakhir dan meneguk tehnya dengan cepat.
Kemudian ia beranjak bangkit mengikuti
Junsu.
“Sampai bertemu nanti, Jae, selamat bekerja” Ujar Junsu tersenyum.
Jaejoong mengangguk.
Ia balas tersenyum.
Senyum yang membuat Junsu dan Changmin
segera mengalihkan wajah mereka.
Mereka berdua tidak pernah tahan untuk
melihat senyuman Jaejoong.
Karena senyum itu sarat akan kesedihan
yang mendalam.
Ada tangis yang tersimpan di setiap
tarikan bibirnya.
Junsu mengerutkan dahinya, ia melirik
Changmin yang menepuk kepalanya.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan selain terus bersamanya, Junsu” Tegur
Changmin pelan.
Junsu menoleh ke belakang, memandang
Jaejoong yang masih tersenyum kepada mereka.
Namja imut itu tercekat.
Mata sipitnya terasa panas.
Jika ada hal yang paling tidak ia sukai
di dunia ini, itu adalah senyuman Kim Jaejoong.
.
.
.
Namja cantik itu menghela nafas masih
membersihkan meja dengan kain lap seperti biasanya.
Mata besar Jaejoong mengerjap menatap
pantulan wajahnya dari kaca meja yang sudah bersih karenanya.
Ia terdiam beberapa saat—memandangi
wajah cantiknya tanpa senyum.
Jari telunjuknya bergerak menyentuh
bayangan wajahnya dengan pelan.
Semua
orang pergi meninggalkan dirimu.
Kasihan
sekali.
“Jaejoong!”
DEG.
Namja cantik itu tersentak kaget dari
lamunannya.
Ia menoleh dan mendapatkan
Donghae—manajer cafe—yang berkacak pinggang kepadanya.
“Ne Hyung” Sahut Jaejoong pelan.
“Jangan melamun! Berapa kali harus kuingatkan? Fokus!” Seru namja dengan
bandana hitamnya itu.
Jaejoong segera mengangguk patuh.
Lalu ia kembali meneruskan pekerjaannya.
“Oh, Hyung! Setelah ini aku permisi sampai jam istirahat, ya? Aku ada shift mengantar ramen hari ini” Ujar
Jaejoong tiba-tiba menatap Donghae yang sudah duduk di kasir seperti biasa.
“Ckck, apa boleh buat, aku memang tidak bisa melarangmu pergi” Ujar
namja ikan itu menggeleng pelan.
Jaejoong hanya tersenyum tipis
mendengarnya.
“Semua meja sudah bersih? Kalau iya kau bisa pergi sekarang” Lanjut
manajer tampan itu lagi.
Namja cantik itu mengangguk.
Ia segera melepas apronnya dan berlari
menuju ruang ganti—mengambil jaketnya dan segera berlari meninggalkan cafe
dengan cepat.
Baru beberapa langkah saja nafasnya
sudah menderu tidak teratur.
Seolah tubuhnya memberitahu bahwa ia
tidak bisa bertahan lama dengan cara hidup yang seperti ini.
Mengantar susu dan koran di pagi hari,
lalu bekerja di cafe hingga tengah hari, kemudian mengambil shift mengantar ramen di kedai ahjumma
yang ia kenal, dan ketika malam hari tiba ia akan bekerja di pom bensin.
Jaejoong mengusap hidungnya yang memerah
karena dingin.
Ia tahu ia sebenarnya ia tidak sanggup
untuk melakukan ini semua.
Tapi ia harus.
Karena menyibukkan diri adalah
satu-satunya cara agar ia dapat melupakan segala hal yang mengganggu hatinya.
“Omo, hari ini kau datang cepat! Bagus sekali! Jja, orderan sedang
ramai-ramainya hari ini, ambil ramennya di dapur dan juga catatan alamatnya!”
Seru ahjumma pemilik kedai ramen seraya menepuk-nepukkan tangannya di apron
putihnya.
Jaejoong tersenyum seraya menganggukkan
wajahnya dan berlari ke dalam dapur—kemudian ia keluar kedai bersama ramen
antarannya.
Tidak mengacuhkan sang ahjumma yang
berkacak pinggang di samping pintu kedai ramen sejak tadi.
Wanita paruh baya itu menghela nafas.
Kemudian ia menggeleng.
“Anak muda sepertimu tidak seharusnya tersenyum seperti itu. Berat
sekali pundakmu, eh?” Gumam ahjumma ramen itu masih memperhatikan punggung
Jaejoong yang sudah menjauh.
-------
“Aku pulang”
Namja cantik itu membuka pintu rumah
mungilnya yang ia sewa dengan harga murah dan segera melepaskan sepatunya.
Jaejoong menghela nafas panjang seraya
memasuki rumah tersebut dengan tangan yang tidak berhenti memukul bahunya yang
terasa pegal.
Ia lelah sekali hari ini.
Namja cantik itu melepaskan jaketnya dan
melemparnya sesuka hati.
Kemudian ia menjatuhkan dirinya di atas
ranjangnya yang tipis.
“Kapan ini semua akan berakhir?” Gumam Jaejoong serak.
Mata besarnya bergerak pelan
memperhatikan langit-langir kamar yang tampak kumuh.
Namja cantik itu menarik nafas panjang
dan menghembuskannya dengan perlahan.
Menahan dadanya yang berdenyut sakit dan
air mata yang menggenang di kelopak matanya yang berkantung.
Lama namja cantik itu terdiam—sampai
kemudian mendadak ia terbangun dan membuka laci nakasnya dengan tidak sabaran.
Ia mengambil gunting yang selalu ia
sembunyikan di dalam sana dan terduduk di pinggir ranjang.
Memperhatikan ujung gunting yang begitu
tajam dalam diam.
Nafas Jaejoong menderu kencang dengan
mata yang terpejam.
Ia meringis merasakan dadanya yang
lagi-lagi terasa sakit—seolah diremas dari dalam.
Aku
tidak bisa lagi hidup seperti ini.
Sendirian
dan tanpa arti.
Aku
harus mati—mati lebih baik.
Dahi Jaejoong mengernyit—jemarinya
bergetar hebat mencengkram gunting tajam itu.
[ “Berjanjilah kepada kami, Kim
Jaejoong. Jangan pernah mencoba untuk mengakhiri hidupmu lagi setelah ini,
arasseo?” ]
DEG.
Namja
cantik itu refleks membuka matanya dalam sekejap saat suara serak Junsu bergema
di kepalanya.
Ia
bisa merasakan pipinya yang telah basah dengan jantung yang terus berdebar
kencang.
Seolah
tersadar—ia segera melemparkan gunting tajamnya ke sudut ruangan.
Jaejoong
meringis—lalu perlahan ia terisak.
Menjatuhkan
dirinya di atas ranjang tersebut dan menangis tersedu-sedu.
“Pembohong—Jung Yunho pembohong..Kau tidak
pernah kembali..Aku tidak percaya lagi padamu..” Isak Jaejoong sedih.
Ia
merapatkan kedua matanya membiarkan tangisnya pecah.
Mencengkram
erat seprai berwarna putih itu hingga kusut.
Kenapa
mereka tega?
Kenapa
semua orang menjauh darinya?
Apa
yang salah?
.
.
.
“Menurutmu
Jaejoong sudah tahu?”
Namja
berwajah kekanakan itu mengangkat bahunya.
Ia
sedang bertelepon dengan Junsu melalui video
call saati ini.
Namja
imut itu mendadak menghubungi dirinya setelah menonton televisi.
Changmin
menguap—ini sudah tengah malam, tentu saja ia mengantuk.
“Changmin!
Aku serius!”
“Ya, ya, aku dengar, Kim Junsu”
Namja
berwajah kekanakan itu bersandar di kepala ranjangnya dan menaruh ponselnya di
atas lutut.
Menatap
wajah Junsu yang semakin imut dengan poni yang terikat ke atas—Tiffany yang
melakukannya.
“Apakah
menurutmu Jaejoong harus tahu? Kalau ayah Yunho baru saja pergi?” Tanya
Junsu lagi.
Shim
Changmin tidak menyahut.
Namja
berwajah kekanakan itu hanya terdiam sejenak.
Dunia
sedang heboh membicarakan tentang kematian Jung Jinki yang mendadak.
Meskipun
ini sudah tengah malam tapi televisi tidak pernah tidur.
“Shim
Changmin!”
Changmin
terkejut.
Ia
mengerjapkan mata bambinya dan kembali memandang Junsu dengan fokus.
“Jaejoong selalu berakhir dengan bau darah
setiap kali ia mendengar nama Yunho disebut-sebut. Biarkan saja seperti ini,
lebih baik ia tidak tahu apapun” Ujar Changmin menghela nafas.
“Kau
serius?” Tanya Junsu mengernyitkan dahinya.
“Ya, Kim Junsu. Lagipula tuan Jung dan
Jaejoong tidak pernah memiliki kenangan yang cukup baik saat mereka pernah
bertemu. Aku berani bertaruh ia bahkan membuat Jaejoong menangis saat itu”
“Otteyo?
Bagaimana kau bisa tahu?”
Changmin
menghela nafas.
“Aku mengantuk, besok saja lagi di sekolah,
annyeong”
“Ya—Yah,
Shim Chang—”
KLIK.
Changmin
menatap datar ponselnya.
Ia
meletakkan benda tersebut di meja nakas dan berbaring di atas ranjang dengan
posisi senyaman mungkin.
Tapi
mata bambinya masih terjaga memandangi langit-langir kamarnya yang luas dan
mewah.
Namja
berwajah kekanakan itu menghela nafas panjang sekali lagi.
Dahinya
mengernyit.
Tentu saja aku
tahu.
Karena aku yang
menyuruh tuan super arogan itu untuk bertemu dengan Jaejoong dan menyakiti
hatinya.
-------
Jung Keybum tidak berhenti mengusap air
matanya yang mengalir jatuh sejak pagi.
Ia masih berdiri di samping peti mati
suaminya dengan wajah sembab seraya menyapa tamu-tamu yang datang.
Wanita cantik itu mengedarkan
pandangannya mencari putra tunggalnya.
Tapi Yunho tidak terlihat di manapun.
Keybum segera memberitahu kepala pelayan
untuk menggantikannya sementara ia mencari Yunho—dan tempat pertama yang ia
tuju adalah kamar namja tampan itu.
CKLEK.
“Yunho yah”
Mata
sembab Keybum mengerjap mendapati punggung tegap Yunho yang sedang bersidekap
di hadapan jendela kamarnya.
Yeoja
paruh baya itu berjalan menghampiri putranya dan menyentuh bahu Yunho dengan
pelan.
“Turunlah ke bawah, orang-orang menanyakanmu”
Ujar Keybum lirih.
Tapi
Yunho bergeming.
Pria
tampan itu memilih untuk merapatkan bibirnya.
“Umma tahu hubunganmu dengan Appa tidak
pernah baik, tapi ini terakhir kalinya kau melihat wajahnya”
“Jadi karena ini untuk yang terakhir kalinya
aku harus mengalah, eoh?”
Keybum
terkejut.
Ia
menatap Yunho yang sudah mengeraskan rahangnya.
Air
matanya kembali menetes jatuh—memandang tidak percaya wajah dingin putra
tunggalnya.
“Yunho ah” Bisik Keybum lirih.
“Ia selalu menjauhkanku dari hal yang kusuka,
jadi biarkan ia pergi dengan kesendiriannya” Ujar Yunho mengalihkan
pandangannya.
“Yunho, tolong Umma, kali ini saja..Tuan Go
akan datang sebentar lagi bersama putrinya—” Keybum tersentak kaget, ucapannya terhenti
saat Yunho menepis tangannya.
“Jung Jinki sialan itu sudah membuatku
menderita selama ini! Jangan pernah berharap kalau aku akan mematuhi perjodohan
yang telah diaturnya! Dia sudah mati! Apa yang dia tinggalkan maka akan
tertinggal!” Teriak Yunho dengan wajahnya yang memerah.
Jung
Keybum terduduk lemas di atas lantai.
Wanita
itu menangis tersedu-sedu karena teriakan putra kesayangannya.
Yunho
mengusap wajahnya frustasi dan menghela nafas panjang.
Kemudian
ia berlutut dan memeluk Ummanya.
“Mianhae Umma” Ujar Yunho pelan.
“Tolong Umma Yunho yah..Hiks..Ini berat
sekali, Umma tidak sanggup..Tolong jangan membuat Umma semakin sedih” Isak
Keybum lemah.
“Mianhae”
Yunho
melepaskan pelukannya ketika ibunya mendorong dirinya menjauh.
Wanita
cantik itu mengusap wajahnya yang memerah dan menarik nafas panjang.
Lalu
ia terdiam untuk beberapa saat hingga membuat Yunho menatapnya khawatir.
Baru
saja namja tampan itu akan menyentuh Ummanya, namun Keybum sudah lebih dulu
mengangkat wajahnya dan menatap langsung sepasang mata musang yang tajam itu.
“Umma mendengar pembicaraanmu dengan Siwon
setelah Appamu pergi” Bisik wanita cantik itu lirih.
Yunho
terdiam.
“Beritahu Umma kalau kau tidak akan pergi dan
meninggalkan Umma sendiri di sini, Yunho ah, janji pada Umma kalau kau tidak
akan kembali ke Seoul sendirian”
“Umma bisa ikut denganku ke Seoul, kita bisa
memulai hidup yang baru di sana”
“Tidak bisakah kita tinggal di sini saja?
Umma tidak mau pergi meninggalkan rumah ini”
“Umma—”
“Umma mohon, Yunho ah, jangan tinggalkan Umma
sendirian di sini, Appamu sudah pergi, kita sudah bertahun-tahun tinggal di
sini, Umma tidak akan sanggup untuk memulainya dari awal lagi di Seoul”
Namja
tampan itu menelan suaranya.
Ia
menatap lurus mata sembab ibunya.
Giginya
bergemertak dalam diam.
Yunho
ingin membantah—ia ingin berteriak kesal pada yeoja cantik itu.
Tapi
ia tidak bisa.
Ibunya
sedang dalam keadaan yang kacau.
Kepergian
Jinki yang mendadak telah membuat Keybum menjadi lemah.
Wanita
itu tidak akan mengerti akan kerinduannya yang membuncah terhadap Kim Jaejoong
saat ini.
Dahi
Yunho mengernyit—merasakan dadanya yang berdenyut sakit hanya dengan mengingat
kekasih cantiknya.
Mungkin
untuk saat ini ia harus mengalah.
Sudah
cukup dengan Jung Jinki yang menolak kekasih hatinya.
Jangan
sampai Keybum melakukan hal yang sama.
Namja
tampan itu mengulurkan tangannya memeluk Keybum.
Ia
menghela nafas berat.
“Arasseo, aku akan menemani Umma sampai Umma
bisa menerima kepergian Appa”
-------
“Selamat siang!”
Namja
cantik itu menoleh ke arah pintu masuk cafe dan melambaikan tangannya.
Menyapa
Changmin dan Junsu yang memilih kursi yang sedang dirapikan oleh Jaejoong.
“Cepat sekali, apa kalian membolos?” Tanya
namja cantik itu menaikkan alisnya.
“Para guru mengadakan rapat akhir tahun, jadi
jam pulang dipercepat” Ujar Changmin seraya melepaskan tasnya.
“Joongie, aku ingin sandwich” Ucap Junsu memotong pembicaraan.
Namja
cantik itu mengangguk.
Ia
segera berjalan menuju etalase roti dan mengambil apa yang Junsu inginkan dari
dalam sana.
“Donghae Hyung, cafenya sedang sepi, tidak
apa kan kalau Jaejoong duduk sebentar?” Seru Changmin menatap Donghae yang
sedang menghitung uang di meja kasir.
“Ne, gwenchana” Sahut namja ikan itu tanpa
menoleh.
Changmin
berseru senang dan segera menyuruh Jaejoong untuk duduk di kursi yang masih
kosong.
“Kau pesan apa, Changmin ah?” Tanya namja
cantik itu tersenyum.
Namja
berwajah kekanakan itu mengepalkan tangannya tanpa sadar—sementara Junsu sudah
mengalihkan pandangannya keluar jendela.
“Nanti saja, kau harus istirahat karena si
pelit Donghae itu tidak membuka lowongan lain untuk karyawan baru” Ujar
Changmin memaksakan bibirnya untuk balas tersenyum.
“Ya! Aku dengar itu, Shim Changmin!” Teriak
Donghae melotot.
Changmin
menjulurkan lidahnya.
Kemudian
ia kembali beralih menatap wajah Jaejoong yang tampak tirus.
Ia
menghela nafas dan menyentuh pipi namja cantik itu dengan lembut.
“Kau semakin kurus, tidak makan dengan baik,
kan?” Ucap Changmin menaikkan alisnya.
“Tapi aku baik-baik saja, bukankah itu yang
terpenting?” Balas Jaejoong balik bertanya—masih dengan senyum manisnya.
“Uhm..Ya, itu yang terpenting”
“Changmin ah, Junsu, gwenchana? Kalian
terlihat aneh hari ini”
Namja
imut itu tersedak.
Ia
mengelap mulutnya dengan tissue dan melirik Changmin yang membeku di kursinya.
“Oh ya? Aneh bagaimana?” Changmin memutuskan
untuk membuka suara dengan kaku.
Jaejoong
mengetuk-ketukkan jarinya di atas meja.
Melirik
Junsu yang sudah menggigit bibir bawahnya ragu.
“Sebenarnya aku ingin memberitahumu, tapi
Changmin bilang sebaiknya aku menutup mulut” Ujar Junsu pelan.
“Aish” Dengung Changmin melotot kepada namja
imut itu.
Ck.
Namja
berwajah kekanakan itu bersidekap kesal menatap Junsu.
Ini
yang paling ia benci dari namja imut itu sejak awal mereka berkenalan.
Sikap
jujur Junsu yang tidak pernah mengenal tempat dan waktu.
Padahal
ia sudah berkali-kali memberitahu Junsu kalau apa yang mereka ketahui semalam
itu adalah rahasia.
“Memangnya ada apa?” Tanya Jaejoong
penasaran.
Junsu
menghela nafas dan mengambil satu gigitan lagi pada roti isinya.
“Kau janji akan baik-baik saja setelah
mendengarnya?” Balas Junsu balik bertanya.
Jaejoong
mengangguk.
Ia
terlihat tidak sabar.
Apakah
ini tentang Yunho?
Apakah
namja tampan itu akhirnya memberi kabar?
Apakah—
“Ayahnya Yunho sudah tidak ada lagi, Joongie.
Jung Jinki pergi kemarin malam”
DEG.
Mata
besar Jaejoong membulat sempurna.
Bibir
ranumnya terbuka tidak percaya.
Dalam
sekejap tulang punggungnya terasa dingin hingga rasanya ia bisa menggigil.
Namja
cantik itu refleks mencondongkan tubuhnya dan mencengkram tangan Junsu dengan
erat.
“Je-jeongmall?! Jeongmallyo?!” Seru namja
cantik itu histeris.
Junsu
mengangguk kaku—sementara Changmin sudah bersiaga terhadap Jaejoong jika namja
cantik itu melakukan sesuatu yang berbahaya.
“Lalu—bagaimana dengan—Yu-Yunho?” Bisik
Jaejoong lirih.
Mata
besarnya mengerjap cepat dengan bibir yang membentuk senyuman penuh.
Senyuman
yang selalu menyimpan duka.
“Apakah ia akan kembali? Apakah ia akan
pulang? Beritahu aku Junsu!” Pekik Jaejoong menggoyangkan bahu Junsu tidak
sabar.
Namja
imut itu menelan salivanya.
Memandang
sedih wajah cantik Jaejoong.
Mata
sipit Junsu menangkap Changmin yang menggeleng serta membisikkan kata jangan di
bibir tipisnya.
Tapi
Junsu memang tidak pernah bisa berbohong.
Jadi
namja imut itu hanya bisa menelan rotinya dan menyentuh bahu Jaejoong dengan
lembut dan meremasnya pelan.
“Maafkan aku, Joongie..Tapi tidak ada kabar
sama sekali mengenai hal itu..Tidak ada yang membicarakan tentang Yunho ataupun
kepulangannya ke Seoul” Gumam Junsu lirih.
Pundak
Jaejoong terasa lemas.
Dalam
sekejap ia menarik kembali tangannya dan menggenggamnya erat.
Wajahnya
terlihat pucat.
Mata
besarnya bergerak-gerak tidak pasti menatap meja.
“Hyung! Aku akan meminta pelayanku untuk
menggantikan pekerjaan Jaejoong hari ini, gwenchana?” Teriak Changmin berdiri
dari duduknya.
“Eoh? Dia shift
ramen lagi, ya? Cepat sekali hari ini. Apa boleh buat, hari ini saja ya!”
Seru Donghae dari meja kasir.
Namja
berwajah kekanakan itu menghela nafas pendek.
Ia
segera beralih menatap Jaejoong yang terlihat kacau.
“Joongie, kau mau pulang? Junsu temani, ya?”
Ujar Changmin khawatir.
Junsu
segera meletakkan sisa roti isinya di atas piring dan bersiap untuk mengambil
uangnya ketika mendengar ucapan Changmin.
Tapi
Jaejoong sudah lebih dulu memperlihatkan telapak tangan kanannya kepada namja
berwajah kekanakan itu dan tersenyum.
“Gomawo Changmin ah, tapi tidak apa, aku
pulang sendiri saja” Ujarnya lembut.
DEG.
Changmin
dan Junsu tertegun.
“Jeongmall? Kau tidak akan melakukan hal-hal
yang akan membuatku menangis lagi kan, Jaejoongie?” Ujar Junsu mengerutkan
dahinya.
“Hal seperti apa eoh? Tenang saja, aku hanya
berjalan-jalan sebentar” Ujar namja cantik itu tertawa.
Changmin
mengerutkan dahinya.
Kemudian
ia segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan memberikannya kepada
Jaejoong.
“Bawa ini bersamamu, hubungi Junsu kalau kau
membutuhkan kami berdua” Ujarnya tegas.
Jaejoong
mengangguk.
Ia
menyimpan ponsel milik Changmin ke dalam saku celananya dan segera beranjak
menuju ruang ganti untuk mengambil jaketnya.
Lalu
ia beralih meninggalkan cafe meninggalkan Changmin dan Junsu bersama Donghae di
sana.
“Kenapa kau melakukan itu? Bukankah lebih
baik kalau kita pergi bersamanya?” Tanya Junsu bingung.
“Untuk saat ini ia butuh waktu sendiri,
Junsu. Aku percaya padanya, begitupun seharusnya dirimu” Balas Changmin
menghela nafas panjang.
Junsu
terdiam, merapatkan bibirnya dengan mata yang masih memandangi jendela cafe.
.
.
.
Kaki
jenjang itu berhenti tepat di hadapan sebuah pintu platinum yang tertutup rapat.
Lama
ia berdiri diam di sana—sampai kemudian namja cantik itu memutuskan untuk duduk
bersandar di dinding dan menatap dalam diam pintu platinum tersebut.
Setahun
sudah ia menghindari tempat ini.
Setahun
pula ia menolak untuk menjelajahi isi pintu itu.
Setahun—dan
itu bukan waktu yang pendek, apabila kau menunggu seseorang.
Jaejoong
memeluk kedua kakinya dengan erat dan menyandarkan dagunya di atas lutut.
Mengerjapkan
mata besarnya yang sudah kaca-kaca.
Jung
Jinki sudah pergi.
Jung
Jinki yang melarangnya berhubungan dengan Yunho.
Jung
Jinki yang membuatnya berpisah dengan Yunho.
Bukankah
itu artinya Yunho sudah bebas sekarang?
Pria
itu sudah bisa kembali untuk menjemput dirinya—seperti janji yang tertulis di
kertas waktu itu.
Jaejoong
mengangguk.
Ya,
namja tampan itu akan kembali untuknya.
Jadi
ia harus kembali menunggu di sini karena Yunho tidak tahu kalau ia sudah
pindah.
Bibir
Jaejoong membentuk sebuah senyuman manis.
Tidak
mengacuhkan air matanya yang sudah mengalir jatuh membasahi pipi tirusnya.
Berusaha
meyakinkan hatinya yang telah retak di sana-sini untuk kembali percaya.
Bahwa
Jung Yunho akan kembali kepadanya.
Lalu
mereka akan kembali hidup bersama lagi seperti dulu.
Berdua
saja.
Hanya
berdua.
TBC :D
Akhirnya si tua jinki mninggal jga,,yunhoo cpat lach kmbali,sblum jj bunuh diri lgi..
BalasHapusAkhirnya si tua jinki mninggal jga,,yunhoo cpat lach kmbali,sblum jj bunuh diri lgi..
BalasHapusWah. Ceritanya daebbak.
BalasHapusKayaknya appa gak bakal pulang k korea. Bikin umma kecewa. Berharap ada yg suka umma dan menjaga umma. Biar ntar pas appa balik. Jd gregetan
Semoga semoga
jangan sad ending pleaseee
BalasHapusKpn lanjut eonni. Gak sabar
BalasHapusPadahal, bawa aja jaejoong k London, mulai dari awal disana. :(
BalasHapusPadahal, bawa aja jaejoong k London, mulai dari awal disana. :(
BalasHapus