I
dont want you to go even if you’re tellin’ me
You’ve
gotten over me boy
Cause
lately I realized without you
I
can’t live another day
“Karena orang yang paling banyak
tersenyum adalah orang yang paling banyak terluka”
PART
8.
Junsu tidak bisa berhenti memperhatikan
wajah Jaejoong sejak ia tiba di rumah besar ini.
Namja imut itu tersenyum
diam-diam—melihat rona bahagia yang terpancar dengan jelas dari raut wajah
namja cantik itu.
Sedikit banyak ia bangga pada dirinya
sendiri, ternyata keputusannya untuk segera menghubungi Yunho dan memberi kabar
mengenai namja cantik itu membuahkan hasil yang begitu manis.
Kemudian Junsu beralih melirik Shim
Changmin yang jelas-jelas terlihat tidak nyaman sama sekali di kursinya.
“Ada masalah, Min?” Tanya Junsu penasaran.
Namja berwajah kekanakan itu menggeleng.
Ia mencibir kepada Junsu dengan penuh
kekesalan.
Ini semua karena Junsu! Karena mulut
Junsu yang tidak pernah bisa berbohong walau untuk kebaikan! Geram Changmin
dalam hatinya.
Ia menghela nafas—lalu memandang
Jaejoong yang masih sibuk mengerjakan soal-soalnya.
Tapi...Tidak buruk juga. Pikir Changmin
tersenyum tanpa sadar.
“Kau merengut lalu kau tersenyum, kau yakin kau baik-baik saja?” Tegur
Junsu lagi.
Aish.
Namja berwajah kekanakan itu melotot
kepada Junsu.
“Tidak bisakah kau diam, Kim Junsu? Suaramu mengganggu telingaku!”
Gerutu Changmin tidak senang.
Eoh? Junsu memiringkan kepalanya
bingung—sementara Jaejoong sudah tertawa geli di kursinya.
“Jja, songsaenim, aku sudah selesai” Ujar namja cantik itu menyerahkan
lembaran kertasnya kepada Changmin.
Namja berwajah kekanakan itu merebut
kertas yang diberikan Jaejoong tanpa berhenti melotot kepada Junsu.
Jaejoong sudah mengambil gelas susunya
yang tersedia di atas meja dan meminumnya dengan semangat.
“Jae, kau tahu—kurasa tidak ada gunanya kau belajar bersama kami” Ujar
Changmin mendesah.
Junsu mengangguk—membenarkan perkataan
Changmin.
“Yunho bisa mengurus ijazahmu setelah kau mengikuti ujian resmi dari
sekolah. Lalu kau bisa langsung mengikuti tes universitas” Sambung Changmin
lagi.
“Mwo? Aku baru satu minggu mengulang pelajaran bersama kalian dan kau
bilang—”
“Aku serius Kim Jaejoong. Kau itu pintar, kau hanya membuang waktumu
saja untuk belajar seperti ini”
“Ta-tapi—kalau kita berhenti belajar seperti ini..Itu artinya kita tidak
akan bertemu lagi, kan? Atau jangan-jangan kalian—”
“Berhenti berpikiran buruk dengan kepalamu yang cerdas, itu Jaejoong,
kau bisa mendaftar di universitas yang sama denganku dan Junsu lalu kita bisa
bertemu lagi di sana”
Oh.
Jaejoong menghela nafas panjang.
Ia bersandar pada sandaran kursinya.
Junsu bangkit dari kursinya dan
menyentuh bahu Jaejoong, ia tersenyum manis.
“Gwenchana Joongie”
“Um”
“Belajarnya sudah cukup, kka, kita menonton saja, aku membawa film bagus
hari ini”
Namja cantik itu menghabiskan susunya
dan segera beranjak mengikuti Junsu.
Changmin sudah merapikan buku dan
peralatan tulis Jaejoong lalu mengambil sepiring kue kering yang tersedia di
atas meja.
“Apa judul filmnya, Su?” Tanya Jaejoong yang sudah duduk nyaman di sofa.
“Aku tidak tahu, tapi cover-nya
menarik” Balas Junsu santai.
Changmin mendesah jengah.
“Awas saja kalau ini tentang dokumenter lagi, aku akan mencukur habis
rambutmu, Kim Junsu” Ketusnya setelah menelan sepotong kue kering.
“Diam kau bocah kelebihan kalsium! Kalau keberatan kau saja yang—eh? Aku
lupa, tasku tinggal di mobil, Joongie”
“Ambil saja, Su, kami akan menunggu”
“Baiklah”
Mata bambi Changmin memerhatikan Junsu
yang sudah menghilang dari ruang tengah. Ia berdehem melirik Jaejoong dan
meletakkan piring kue keringnya di atas meja. Changmin menghela nafas
pendek—sebenarnya ia ragu, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba.
“Joongie, aku ingin menanyakan sesuatu padamu”
“Apa?”
“Hm..Apakah Yunho pernah mengatakan sesuatu tentangku?”
Hah?
Jaejoong mengerjap bingung. Menatap
Changmin yang jelas sekali terlihat canggung. Namja cantik itu menggeleng dan
tersenyum tipis kepada sahabatnya.
“Tidak pernah sekalipun, memangnya ada apa? Kau memiliki kepentingan
dengannya?”
Namja berwajah kekanakan itu mendesah
lega dalam hati. Meskipun ia tidak mengerti mengapa Yunho masih menutup mulut
dari Jaejoong tentangnya. Tentang dosa besar yang sudah ia lakukan di masa lalu.
“Tidak ada, aku hanya penasaran” Balas Changmin tersenyum lucu.
Jaejoong mendengus—ia menoleh ketika
Junsu berlari memasuki ruang tengah bersama bungkusan film di tangannya.
.
.
.
“Aku akan menunggu di luar demi kenyamananmu, BooJae”
“Kau tidak akan pergi, kan?”
“Aku berjanji”
Jaejoong mengangguk menatap Yunho yang
sudah duduk di kursi ruang tunggu bersama senyuman di wajahnya. Mata besar
Jaejoong masih bertahan memerhatikan pria itu sampai kemudian ia berbalik dan
memasuki ruang konseling dari dokter yang direkomendasikan oleh Yunho untuknya.
“Selamat sore” Sapa Jaejoong setelah ia menutup pintu dan menemukan
seorang wanita berambut ikal panjang di meja kerjanya.
“Oh, selama sore juga, apa kabarmu Jaejoong-ssi?” Balas wanita itu
mendongakkan wajahnya.
“Baik, apa kau sudah menunggu lama, uisa?”
“Tidak, Yunho sudah memberitahuku kalau kalian akan datang terlambat
hari ini”
“Uhm, baiklah kalau begitu”
“Silahkan duduk di sana seperti biasanya, Jaejoong-ssi”
Jaejoong mengangguk patuh. Ia segera
menghampiri sofa panjang berwarna merah gelap di dekat jendela kaca lalu
menidurkan dirinya di sana. Sementara dokter berkacamata itu duduk di kursi
sampingnya.
“Kita
mulai?” Tanya wanita cantik itu tersenyum ramah.
Jaejoong mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu kita bisa memulainya dari kejadian apa saja yang
kau alami selama dua hari ini” Ujar dokter berkacamata itu seraya menyiapkan
papan menulisnya.
Namja cantik itu menghela nafas,
kemudian ia mendongak memandang langit-langit ruangan yang berwarna putih
polos. Kemudian bibir ranumnya menyunggingkan senyuman tipis.
“Changmin dan Junsu sedang libur kuliah sejak seminggu yang lalu dan
Yunho meminta mereka untuk menjadi guru private-ku
di rumah, tapi Junsu bilang kalau aku sebenarnya tidak perlu melakukan itu,
mereka berdua sepakat kalau aku sudah bisa langsung mengikuti ujian negeri dan
lulus dengan mudah”
“Itu bagus sekali, kau memang pemuda yang pintar”
Jaejoong tersenyum.
“Bagaimana dengan Yunho? Ia selalu pulang ke rumah tepat waktu, kan?”
“Ya, setiap jam 5 sore ia akan pulang dan menghabiskan waktu bersamaku”
“Terdengar bagus”
“Tapi tetap saja aku tidak merasa tenang. Yunho yang selalu ada untukku
seperti itu hanya membuatku semakin gelisah. Persis seperti dulu..Ia yang tidak
ingin aku menjauh tapi justru ia yang pergi”
“Hmm, tapi kita sama-sama melihatnya, ia masih ada di sini bersamamu dan
tidak pergi”
“Tidak ada yang tahu, kan? Apa saja yang bisa terjadi di masa depan
nanti?”
Dokter itu tersenyum tipis. Ia
membenarkan letak kacamatanya dan berdiri dari duduknya.
“Kau benar, tapi di situlah pentingnya kita menaruh kepercayaan. Kau
harus sadar bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, sulit memang untuk
menerima kenyataan bahwa suatu saat pada akhirnya kita akan menjadi yang
tertinggal. Tapi kita bisa menumbuhkan rasa percaya dan selalu mengambil sisi
positif dari segala hal”
“Ini semua tidak semudah itu, uisa”
“Siapa yang bilang ini mudah? Kau yang paling tahu itu, Jaejoong-ssi.
Semua manusia memiliki sesuatu yang disebut dengan self-efficacy. Metode pertahanan diri di mana kita harus
beradaptasi untuk mengatasi masalah dengan kemampuan kita sendiri. Itu yang
harus kau kuatkan, berhenti menganggap bahwa kau hidup untuk sendirian di dunia
ini adalah hal pertama yang harus dilakukan”
Namja cantik itu tidak menyahut. Ia
hanya mengerjapkan mata besarnya menatap langit-langit ruangan. Memikirkan
dengan matang setiap kalimat yang terucap dari bibir dokternya.
“Yunho sama kehilangannya seperti dirimu, Jaejoong-ssi. Kalian saling
merasa kosong, dia sama sedihnya sepertimu tetapi dia bertahan dengan self-efficay-nya yang kuat. Lalu ia
kembali pulang kepadamu. Pria itu pernah kehilangan dirimu, dan ia tidak akan
kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak akan pernah pergi darimu”
“Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu? Kau sama sekali tidak
mengenal Yunho, uisa, hanya aku yang selama ini menghabiskan waktu untuk
mengobrol denganmu”
Wanita cantik itu tertawa. Ia menatap
teduh pemuda cantik yang sudah beranjak duduk dari baringnya itu.
“Orang bodoh sekalipun tahu hanya dengan melihat tatapan yang
diberikannya untukmu, Kim Jaejoong-ssi. Jung Yunho itu cinta mati padamu” Bisik
wanita cantik itu di depan Jaejoong.
Dahi Jaejoong mengernyit—namun wajahnya
memerah hangat. Ia berdehem dan beranjak dari duduknya.
“Ku-kurasa hari ini sampai di sini saja” Ujarnya malu.
“Baiklah kalau begitu, tapi sebelum kau pergi ada yang ingin kuberikan
padamu”
“Apa?”
Dokter berambut ikal itu mengeluarkan
bungkusan kapsul dari laci meja kerjanya. Ia meletakkan bungkusan tersebut di
atas telapak tangan Jaejoong. Membuat pemuda cantik itu mengernyitkan dahinya.
“Tapi kupikir aku tidak perlu obat” Ujar Jaejoong bingung.
“Ini bukan biasa, Jaejoong-ssi. Ini obat tidur berdosis tinggi” Balas
dokter cantik itu cepat.
“Apa? Kenapa kau memberikanku ini?”
“Obat-obat ini tidak untuk diminum, Jaejoong-ssi. Obat ini untuk
mengingatkanmu agar tidak menyerah dengan mudah akan segala ketakutanmu. Yang
kuinginkan darimu adalah ingatanmu tentang kekasihmu setiap kali kau menyentuh
obat ini. Aku tahu kau bisa, Jaejoong-ssi”
“Uisa—”
“Jangan kalah dengan drive-mu
untuk menyerah. Itu penting”
Jaejoong tertegun. Memandang bungkusan
obat yang berada dalam genggamannya.
“Aku sudah menghitung jumlahnya, dan aku ingin kau kembali bersama
obat-obatan itu di terapi selanjutnya tanpa menghilangkan satu butir pun”
“Aku mengerti”
Wanita berambut ikal itu mengangguk. Ia
tersenyum pada Jaejoong saat namja cantik itu menyimpan bungkusan tersebut di
dalam saku jaketnya. Kemudian ia membungkuk sopan dan segera beranjak
meninggalkan ruang konseling tersebut.
“Sudah selesai?”
Dada Jaejoong mendadak terasa hangat
saat iris matanya menangkap sosok Yunho yang masih duduk manis kursinya. Namja
tampan itu beranjak bangkit menghampiri Jaejoong. Membalas senyuman kekasih
cantiknya dan memberi kecupan ringan di pipi kanannya.
“Aku ingin mengajakmu minum cokelat dingin di luar, kau mau?” Tawar
Yunho lembut.
Jaejoong mengangguk—masih dengan
senyuman manisnya. Pemuda tampan itu segera menggandeng tangan Jaejoong dan mengajaknya
keluar dari gedung tersebut. Jaejoong merapatkan dirinya kepada Yunho. Ia
mendongak, memandang mata musang yang selalu disukainya itu.
“Kau menungguku, Yunnie” Bisik Jaejoong senang.
Yunho menunduk, balas menatap mata besar
Jaejoong yang memandangnya kagum. Lalu ia tertawa kecil.
“Ya, dan aku tidak akan pernah pergi darimu” Balasnya tegas.
Jaejoong mengangguk.
-------
“Bagaimana menurutmu?” Tanya Yunho
seraya mengambil amplop berwarna cokelat di atas mejanya dan mengacungkannya
kepada Siwon.
“Saya tidak berani berkomentar, Tuan, hal tersebut berkaitan dengan
privasi anda. Yang bisa saya katakan adalah agar anda kembali memikirkan ulang
mengenai rencana ini. Tuan Jaejoong hanya memiliki dua teman selama saya
mengenalnya, dan itu adalah Kim Junsu dan Shim Changmin”
“Kehilangan Changmin tidak akan membuatnya kesepian karena masih ada
Junsu”
“Ya, tetapi satu orang pun tetap harus diperhitungkan”
“Sial. Kau benar”
Siwon menghela nafas diam-diam. Tidak
berani berkomentar lebih dari ini.
“Kau bisa pergi sekarang, tinggalkan aku sendiri” Ujar Yunho seraya
meremas amplop berkas tersebut.
Asisten tampan itu mengangguk patuh. Ia
membungkuk sopan lalu beranjak pergi meninggalkan Yunho sendirian di sana.
“Aish” Geram Yunho menatap marah amplop yang ada di tangannya.
Ini benar-benar kondisi yang tidak
mengenakkan untuknya. Di satu sisi ia ingin sekali membunuh pemuda bernama
Changmin itu—melenyapkannya tanpa bekas. Tapi di sisi lainnya Jaejoong akan
sedih saat ia tidak lagi bertemu dengan sahabat baiknya itu.
“Brengsek, mengapa kau harus mendekati Jaejoongku, eh?” Geram namja
tampan itu menatap foto Changmin yang tertempel di berkas mengenai data pribadi
namja itu.
Sepertinya ia harus memikirkan ulang
mengenai rencana melenyapkan Tuan Muda Shim itu. Biar bagaimanapun juga
Jaejoongnya tetap yang terpenting.
TOK
TOK TOK
“Yunnie, makan malam sudah siap”
“Ya, sayang, aku akan keluar”
Yunho menghela nafas panjang. Ia
menyimpan berkas mengenai data pribadi Changmin di laci meja kerjanya dan
segera beranjak keluar ruangan menemui Jaejoong yang masih berdiri di sana.
“Aku merindukanmu” Ujar namja cantik itu sebelum ia berjinjit untuk
mencium pipi kekasihnya.
Yunho hanya tersenyum. Ia menangkup
wajah cantik Jaejoongnya dan mengusap lembut pipinya.
“Apa yang kau masak?” Tanyanya lembut.
Jaejoong tersenyum senang—ia melepaskan
kedua tangan Yunho dari wajahnya dan membawa namja tampan itu berjalan menuju
ruang makan.
“Aku selalu ingin mencoba membuat sayur labu dengan kaldu sapi,
bagaimana menurutmu?”
“Kedengaran lezat”
“Kalau begitu kita harus segera makan sekarang!”
“Ya, tentu, apapun untukmu”
Jaejoong segera duduk di kursinya tepat
di samping Yunho dan menantikan namja tampan itu menyendok kuah sayurnya. Mata
bulatnya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu. Dan senyumnya semakin lebar saat
Yunho mengerjapkan mata musangnya dan menatap kagum wajah cantik kekasihnya.
“Kau bisa membuka sebuah restoran hanya dengan sup ini, sayang” Ujar
Yunho tersenyum—menyendok lagi kuah sayurnya.
Jaejoong tertawa senang. Ia ikut
menyendok kuah sayur di mangkuknya dan mendesah puas.
“Ngomong-ngomong Junsu memberitahuku mengenai hasil belajarmu selama
ini, dan setelah melihat pencapaianmu, namja itu ada benarnya” Ujar Yunho
menatap kekasihnya.
“Kau serius?” Tanya Jaejoong tidak yakin.
“Tentu saja, aku ingin kau mengikuti ujian yang disahkan negara besok
pagi”
“Yunnie! Itu terlalu cepat!”
“Kau jenius, sayang, percaya padaku, tes-tes itu tidak sesulit
kedengarannya”
“Yunnie~!”
“Aku serius, BooJae, makan nasimu”
Namja cantik itu menyendok nasinya dan
menyuap kuah sayurnya sekali lagi.
“Setelah ujian negara ada baiknya langsung dilanjutkan dengan tes masuk
universitas”
“Uhuk uhuk!”
Yunho terkejut melihat Jaejoongnya yang
terbatuk-batuk di sampingnya. Namja tampan itu segera memberikan gelas minumnya
di hadapan Jaejoong yang diterima namja cantik itu dengan cepat.
“Yunnie! Kau sudah gila!” Pekik Jaejoong gemas.
“Bukankah lebih cepat lebih baik? Uang bukanlah masalah” Ujar Yunho
tersenyum sombong.
Namja cantik itu meremas sendoknya.
“Aku menyadari kalau tidak banyak yang bisa kau lakukan selama
menungguku pulang, BooJae. Aku hanya tidak ingin kau kesepian”
“Yunnie”
“Kau bisa bertemu Junsu di sana dan menghabiskan waktu bersama selagi
aku berada di kantor”
“Dan Changmin, Yunnie”
“Ya, dan Changmin”
“Baiklah kalau begitu, aku menerimanya, besok aku akan ikut ujian”
Yunho tersenyum. Jaejoongnya tidak
pernah mengecewakan—pria itu selalu menurut patuh padanya. Tidak pernah berubah
sejak dulu.
“Aku mencintaimu, Jaejoongie” Bisik Yunho menggenggam tangan Jaejoong
erat.
Mata besar Jaejoong mengerjap—ia
tersenyum senang dengan kedua pipinya yang merona hangat.
“Dan kau selalu tahu jawabannya, Yunnie bear” Balas namja cantik itu bahagia.
-------
“Katakan padaku, Jaejoongie, apakah aku bermimpi?”
“Untuk yang ketujuh kalinya, Kim Junsu, aku ada dan duduk di sini
belajar bersamamu”
“Kekuasaan yang dimiliki Yunho tidak pernah main-main”
Jaejoong tidak bisa berhenti tertawa
setiap kali Junsu konyolnya mengucapkan sesuatu yang aneh. Namja imut itu
terlalu terkejut dengan keberadaan Jaejoong di kelasnya pagi ini. Ia sama
sekali tidak tahu-menahu mengenai ujian dan tes universitas yang dilakukan
sahabatnya atas saran Yunho.
Oh
my god sun—rapal
Junsu berkali-kali dalam hatinya.
“Changmin tidak akan percaya ini” Ujar Junsu dengan pekikan khasnya.
“Aku sudah lama tidak melihatnya” Sahut Jaejoong menghela nafas.
“Ia memang jarang berkuliah akhir-akhir ini, aku tidak tahu apa yang
dilakukannya, mungkin ayahnya sudah mulai meminta Changmin untuk mengurus
perusahaan”
“Sepertinya begitu”
“Lalu, bagaimana dengan terapimu minggu lalu? Apa ada kemajuan?”
“Aku tidak tahu, perasaanku masih stagnan, selalu gelisah setiap kali
Yunho mengatakan ia harus pergi ke kantornya”
“Kau harus percaya padanya, Joongie”
“Sedang kulakukan, dokterku juga mengatakan itu padaku”
Junsu mengangguk. Melirik teman-teman
kelasnya yang sudah beranjak keluar ruangan.
“Kurasa dosennya tidak masuk hari ini, sudah lewat 45 menit” Gumam namja
imut itu pasrah.
“Beda sekali dengan sekolah, ya?” Kekeh Jaejoong geli.
Junsu mengerucutkan bibirnya. Ia
memasukkan kembali peralatan tulisnya ke dalam tas.
“Mengenai PTSD-mu, kurasa kau harus melakukan sesuatu untuk meyakinkan
rasa percayamu” Ujar namja imut itu bangkit dari kursinya.
Jaejoong ikut berdiri—memakai tasnya di
punggung.
“Yunho bilang ia tidak akan meninggalkanmu sendiri, kita harus
membuktikan hal itu. Cari tahu jadwal meeting
Yunho di kantornya, Joongie, lalu temukan hari di mana ia akan melakukan
pertemuan yang sangat penting—benar-benar penting melebihi nilai perusahaannya
sendiri. Kemudian minta ia untuk pulang menemuimu di saat ia sedang menjalankan
meeting itu”
“Kim Junsu!”
“Kalau ia kembali untukmu, berarti tidak ada lagi yang perlu kau
khawatirkan, Kim Jaejoong. Tapi kalau tidak—”
Junsu terdiam. Mengamati perubahan emosi
Jaejoong pada raut wajahnya. Kemudian ia tersenyum tipis.
“Tapi kalau tidak, kau harus belajar menerima kenyataan pahit, meski aku
yakin seratus persen kalau Yunho tidak akan mungkin bisa mengabaikanmu”
Sambungnya berjalan keluar kelas.
Jaejoong refleks mengikuti langkah kaki
Junsu. Dahinya mengernyit—memikirkan dalam-dalam ucapan namja imut itu padanya.
Namja cantik itu benar-benar merasa ragu.
Haruskah ia mencobanya? Tapi resikonya sungguh besar. Jaejoong tahu perusahaan
Yunho bukanlah suatu ambisi biasa. Keluarganya sudah merintis aset tersebut
turun-temurun. Tetapi ia juga harus tahu apakah Yunho benar mencintainya
seperti yang diberitahukan orang-orang di sekitarnya selama ini.
Jaejoong menghembuskan nafas panjang.
.
.
.
“Jadi
kau sedang di rumah sekarang? Junsu ikut?”
“Iya Yunnie, tapi Junsu tidak ikut, ia ingin istirahat katanya”
“Kau ingin Siwon menjemputmu dan
menungguku di kantor, Boo?”
“Tidak usah, bear,
kemarin-kemarin aku juga menunggu di rumah”
“Kau yakin?”
“Iya, tidak perlu khawatir, mungkin aku akan tidur siang saja di kamar”
“Baiklah kalau begitu, aku tutup
teleponnya”
“Aku mencintaimu”
“Aku juga, sayang”
KLIK
Jaejoong meletakkan ponselnya di atas
ranjang. Ia berjalan keluar ruangan dan berjalan menuju ruang kerja Yunho.
Saran Junsu tidak bisa diabaikan begitu saja—pikirnya. Namja imut itu benar. Ia
harus melakukan sesuatu jika ingin sembuh dari gangguan traumatik ini.
Namja cantik itu membuka pintu ruang
kerja Yunho dan mendesah lega mendapati pintu tersebut tidak dikunci oleh
kekasihnya. Mata besar Jaejoong berjelajah mengamati meja kerja Yunho yang
sangat rapi. Ia mendekat dan memeriksa setiap lembaran yang ada di sana.
Mencoba mencari-cari apakah Yunho memiliki kontrak penting minggu ini atau
sekedar kopian jadwal meeting yang
harus Yunho persiapkan dalam waktu dekat.
Jaejoong berusaha keras melakukan
pekerjaannya dengan hati-hati. Karena Yunho akan tahu kalau barangnya bergeser
sedikit saja—dan ia tidak ingin hal itu terjadi.
“Apa Siwon menyimpan semuanya ya?” Pikir Jaejoong teringat akan pemuda
tampan itu.
Asisten pribadi Yunho selalu membawa tab-nya kemana-mana. Dan besar
kemungkinan segala hal yang harus dilakukan kekasihnya tercatat lengkap di
dalam sana.
Tapi ia tidak boleh menyerah, masih ada
banyak berkas di dalam ruangan ini yang harus diperiksa.
“Oh!” Jaejoong terpekik ketika matanya melihat laci meja kerja Yunho dan
segera berlutut di atas hambal berbulu lembut di atas lantai itu.
Ia menarik laci tersebut dan menemukan
amplop besar berwarna cokelat. Jaejoong segera membukanya tanpa pikir panjang.
Dan ketika matanya bertemu dengan huruf-huruf yang tercetak di sana, detik itu
juga ia diserang oleh kejutan yang menghantam dadanya.
Tangannya bergetar hebat—matanya
bergerak-gerak gelisah. Mengerutkan dahi tidak percaya membaca setiap tulisan
yang ditemukan oleh iris hitamnya.
‘Jadwal pertemuan Changmin dan
Jung Jinki 3 setengah tahun yang lalu’
Mata Jaejoong terasa panas—dan ia tidak
mencegah air matanya yang jatuh membasahi pipi pucatnya. Namja cantik itu
terduduk di atas hambal. Tenaganya hilang entah kemana. Ya Tuhan—jadi—jadi
selama ini Changmin dan ayahnya Yunho—
‘Estimasi waktu kematian’
Jaejoong refleks menutup mulutnya dan
tersedak kaget. Air matanya semakin berjatuhan hingga membuat pandangannya
buram. Berkas tersebut lepas dari genggaman tangannya. Jaejoong
meringkuk—memecahkan tangisnya mendapati kenyataan mengerikan yang ditemukannya
siang ini.
Bahwa sahabat baiknya adalah akar dari
segala kekacauan hidupnya bersama Yunho.
Dan kekasihnya sedang merencanakan
sesuatu untuk melenyapkan Changmin dalam waktu dekat.
TBC
Eonni, ini cerita udah lama banget gak lanjut, malah ani sampai lupa cerita nya hahaha, harus ulang baca lagi biar ingat cerita nya
BalasHapusTapi Eonni emang the best lah